Penentuan Lokus Otonomi Pada Provinsi Sebagai Solusi Atas Permasalahan Otonomi Daerah




Ketika membicarakan otonomi daerah (otda), salah satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang mungkin timbul adalah apakah otda memberikan solusi terhadap bobroknya sistem pemerintahan Indonesia?. Jika ditelaah berdasarkan perspektif sejarah, Semangat otonomi sudah dicita-citakan para pendiri bangsa sejak awal kemerdekaan Indonesia. Bukti cita-cita itu tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Inti konsepsi dari pasal ini adalah pengakuan pusat terhadap eksistensi pemimpin daerah di tengah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Keberadaan Pasal 18 UUD 1945 menjadi payung hukum lahirnya undang-undang lain yang bernafaskan otonomi. Sebut saja misalnya undang-undang UU No.1 Tahun 1945 hingga UU No. 5 Tahun 1974 yang mengatur soal kebijakan otonomi dan desentralisasi. Perhatian lebih intensif terhadap otda  muncul pada 1996. Kala itu pemerintah melalui Keppres No. 11 tahun 1996 menetapkan 25 April sebagai Hari otda dengan titik berat kabupaten/kota.

Otda sebenarnya bukanlah gagasan baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, Otda sempat terimplementasikan namun gagal dalam pelaksanaannya lantaran ketegangan politik antara pusat dan daerah. Setelah Orde Baru tumbang, kesempatan terbuka lebar untuk memberlakukan kembali otda. Akhirnya otonomi pun berjalan hingga sekarang. Harapan yang muncul adalah ketegangan pusat dan daerah yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru dapat terselesaikan serta daerah dapat berkembang sesuai kemampuan daerah masing-masing khususnya dalam pembangunan daerah. Walaupun demikian tidak semua urusan pemerintahan terdesentralisasikan ke daerah. Ada beberapa yang masih menjadi kewenangan pusat. Di antaranya adalah politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, peradilan, agama, serta kewenangan bidang lain. 

Di samping itu, otda juga mempunyai visi yang dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: Politik, Ekonomi, serta Sosial dan Budaya. (Syaukani, dkk. 2002: 173-175). Di Bidang politik, karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsunya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. 

Demokratisasi pemerintahan berarti juga transparansi kebijakan. Artinya untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu, apa tujuannya, berapa ongkos yang harus dipukul, siapa yang diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung, dan siapa yang harus bertanggungjawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karier politik dan administrasi yang kompetif. Serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.

Di bidang ekonomi, otda di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan pihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otda akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas inventasi, memudahkan perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian, otda akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.

Di bidang sosial dan agama, otda harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama, memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampauan masyarakat merespon dinamika kehidupan sekitarnya.
          
Tidak dapat dimungkiri, setelah  berjalan  kurang lebih 15 tahun pasca orde baru, sulit untuk mengatakan bahwa otda adalah gagasan yang solutif untuk mengatasi sistem pemerintahan antara pusat dan daerah. Dengan adanya otda malah sering terjadi permasalahan yang tak terduga. Seperti halnya korupsi. Sejalan dengan terwujudnya desentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah, korupsi pun ikut terdesentralisasikan. Akhirnya korupsi besar-besaran pun terjadi di daerah.

Hal ini dapat didukung dengan berbagai data. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sejak tahun 2005 hingga sekarang, jumlah bupati/wali kota/gubernur yang tersangkut korupsi mencapai 297 kepala daerah. Bupati Aru, Teddy Tengko yang ditangkap Kejaksaan Agung, akhir Mei lalu, menempati urutan ke-294. Melihat terdapat kasus yang ditangani penyidik yang melibatkan kepala daerah, diprediksi angkanya bisa tembus 300 orang hingga akhir tahun ini.
 Kemudian berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2013 ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kepala daerah tersebut terdiri dari 20 gubernur, satu wakil gubernur, 17 walikota, 8 wakil walikota, 84 bupati dan 19 wakil bupati. Menurut peneliti ICW Donal Faris, pola korupsi di setiap daerah berbeda satu sama lain. Di daerah yang kaya sumber daya alam, pola korupsi terjadi lewat izin tambang dan alih fungsi lahan. Sedangkan di daerah yang minim sumber daya alam pola korupsi banyak terjadi lewat manipulasi anggaran belanja daerah untuk pengadaan barang dan jasa.

Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan. Tidak sedikit pengamat yang menilai maraknya kepala daerah bertindak korup lantaran kurang sempurnanya penerapan otda. Konsep otda  yang dimaksudkan sebagai sarana reformasi untuk menguatkan sistem pemerintahan daerah malah seolah menjadi beban. Bukannya mampu menjawab persoalan bobroknya sistem sentralistik, malahan penerapannya seperti sebuah blunder. 

Hal ini juga diperparah dengan adanya penelitian yang mengungkapkan bahwa sekitar 2.500 anggota DPRD kabupaten/kota terseret kasus hukum. Dari jumlah itu, terdapat 1.050 orang (40,07 persen) teridentifikasi kasusnya adalah penyimpangan anggaran. Pelaksanaan pemilukada sejak 2004 yang sarat dengan ekonomi biaya tinggi berimbas pada meningkatnya aparatur negara yang berurusan kasus hukum. Hingga akhir 2012, sedikitnya 1.364 pegawai negeri sipil (PNS) yang terjerat korupsi, dengan status tersangka hingga terpidana.

Permasalahan Yang Muncul 
Kondisi seperti ini tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja. Mengingat salah satu agenda reformasi adalah pemberantasan korupsi, maka dari itu, harus memikirkan solusi yang solutif untuk mengatasi permasalahan otda khususnya korupsi yang terjadi sekarang. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah yang menyebabkan maraknya korupsi di daerah karena sistem otonominya atau memang penyelenggara daerah yang tidak berintegritas?. Oleh karena itu perlu adanya identifikasi masalah otda yang kemudian mencari solusinya.

Pertama, hal yang paling mendasar yang harus diperhatikan terkait masalah otda adalah manajemen otda yang kurang baik. sehingga masih terjadinya tumpang tindih kewenangan antara daerah dan pusat. Tumpang tindih tersebut dapat terjadi dalam beberapa hal. Seperti aturan hukum tentang perizinan, pelayanan publik dan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini perlu disikapi dengan serius dan dibenahi karena menyangkut sistem otonomi dalam NKRI.

Kedua, terbatasnya keuangan yang dimiliki pemda, menurut pendapat Faisal Basri seorang ekonom, dalam artikelnya di kompas pada tanggal 1 April 2013 mengatakan bahwa di era otda, hubungan keuangan vertikal  pusat-daerah justru semakin timpang. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota semakin mengandalkan dana dari pusat. Porsi pendapatan asli daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengecil. Tak heran kalau sebagian besar APBD di kebanyakan provinsi dan kabupaten/kota habis untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran wajib yang sudah ditentukan peruntukannya oleh pusat.

Pos transfer ke daerah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memang naik pesat dalam tujuh tahun terakhir, dari Rp 150,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 528,6 triliun pada 2012, atau naik 3,2 kali lipat. 2,9 kali lipat, dari Rp 509,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 1.481,7 triliun tahun 2012. Dengan demikian, porsi transer ke daerah dalam APBN pun meningkat dari 29,5 persen pada 2005 menjadi 32,4 persen pada 2012. Pembengkakan transfer dari pusat ke daerah harus ditekan. Jika dibiarkan begitu saja kemungkinan besar terjadi pembengkakan lagi yang luar biasa pada tahun berikutnya.

Hal ini diperparah dengan merabaknya pemekaran kabupaten baru yang terjadi akhir-akhir ini. Tercatat sampai dengan Juli 2013 jumlah provinsi di Indonesia terus bertambah hingga mencapai 34 provinsi, kabupaten 410, dan kota 98. Tidak sedikit dari mereka yang meminta bantuan keuangan pusat guna menjalankan program-progamnya karena memang sebagaian besar belum dapat mendiri mengurusi keuangan daerah baru tersebut.

Ketiga, masih krisinya pemimpin terampil dan berintegritas dalam membangun daerah. Masalah ini memang bukan hanya di daerah saja melainkan Republik ini juga merindukan sosok pemimpin yang amanah dan mempunyai integritas yang baik. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin daerah masih mempunyai hubungan darah satu sama lain. Misalnya bapaknya menjadi seorang Gubernur di suatu provinsi sedangkan anaknya melalui mekanisme yang katanya dikatakan demokratis berhasil menjadikan anak-anaknya pemimpin-peminpin di kabupaten atau kota di Provinsi tersebut.

Tidak hanya itu, semangat mereka untuk menjadi pemimpin daerah bukan semata-mata didasari oleh semangat mensejahterakan rakyat melainkan hanyalah menginginkan kekuasaan dan mencari untung untuk kepentingan pribadi dan golongan. Maka tidak salah jika didaerah sering timbul kerajaan-kerajaan kecil. Alih alih melayani masyarakat, padahal untuk memperkaya diri sendiri. Patut disayangkan, rakyat kecil hanya dijadikan sebagai kambing hitam. Ketika kampanye mereka dilabui dengan janji-janji manis para calon bupati maupun calon gubernur. Namun setelah menjadi bupati atau gubernur, mereka lupa akan janji itu maka rakyat semakin miskin.

Mencari Solusi 
Berkaca dari berbagai permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka kiranya perlu adanya gagasan untuk mendesain kembali otonomi yang telah berjalan selama ini. Gagasan tersebut dimaksudkan untuk mencari jalan keluar atas hambatan yang terjadi guna menegakkan kembali visi diterapkannya  otda seperti yang telah disebut di atas. Ada tiga solusi yang ditawarkan dalam paper ini sebagai jawaban atas permasalahan yang telah disebut di atas.

Pertama, perlu adanya lokus otonomi.  Artinya otda harus diletakkan pada satu titik tertentu agar tidak terjadi tumpang tindih. Jika mengamati dari bunyi Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia, Khususnya pada potongan kalimat terakhir yang menyatakan “tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan undang-undang”.  Maka akan  timbul penafsiran bahwa pasal tersebut ambiguitas. Karena memang pada pada tiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota memiliki pemerintah daerah. Sistem otonomi inilah yang diterapkan sekarang.

Dengan demikian perlu adanya penentuan lokus otonomi, baik di Provinsi maupun  Kabupaten/Kota. Tentunya akan menimbulkan konsekuensi masing-masing dimana lokus tersebut diletakkan. Menurut pendapat penulis jika lokus itu diletakkan pada Provinsi  maka gubernur sebagai satu-satunya wasilah hubungan antara pusat dan daerah. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pusat harus melalui provinsi. Dengan kedudukan gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat dan sebagai pemegang kuasa Provinsi, maka tidak salah jika gubernur diletakkan di atas bupati ataupun walikota. Walaupun nantinya pertanggungjawaban bupati atau walikota tidak pada gubernur. Sistem yang demikianlah yang berlaku pada DKI Jakarta sekarang ini.

Selanjutnya mengenai lokus tonomi pada Kabupaten/Kota, sebenarnya hal ini sudah diterapkan berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1974 yang menggariskan peletakkan titik berat otonomi daerah pada Kabupaten/Kota. Namun dalam pelaksanaannya masih tersendat-sendat. Tujuan meletakkan lokus pada Kabupaten/Kota sebenarnya adalah agar pelayanan terhadap masyarakat dapat lebih ditingkatkan. Namun dalam realitasnya tidak lah demikian, malah banyak menimbulkan permasalahan karena dengan titik berat Kabupaten/Kota, urusan pemerintah pusat maupun Provinsi akan diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Sehingga Kabupaten/Kota mengalami kesulitan dalam merealisasikannya.

Selain itu, perlu diakui bahwa realisasi ketentuan tentang titik berat otonomi pada Kabupaten/Kota itu sampai sekarang ini belum kelihatan wujudnya. Hambatan terhadap realisasi ketentuan ini sebenarnya sudah diramalkan oleh Bung Hatta pada waktu mencetuskan konsepsinya yang terkenal itu dengan memperingatkan bahwa dalam struktur otonomi Daerah bertingkat kewenangan akan berpusat pada Daerah paling atas. (Sujamto,1990: 90-91)

Sehingga alangkah baiknya jika lokus otonomi diletakkan pada daerah Provinsi. Karena sistem seperti ini sudah dicontohkan oleh DKI Jakarta, kenapa tidak setiap daerah menerapkan sistem ini. Kekhawatiran yang muncul bahwa ini akan memecah integrasi bangsa itu merupakan ketakutan yang berlebihan. Karena sistem otonomi ini diikat dalam bingkai NKRI.

Dengan lokus otonomi di Provinsi, konsekuensinya gubernur dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga mempunyai legitimasi yang kuat, sementara bupati/walikota dipilih DPRD. Kentungan pemilihan bupati/walikotan oleh DPRD maka akan terjadi efisiensi dana besar-besaran atas penyelenggaraan pilkada. Selain segala kebijakan yang dikeluarkan oleh bupati/walikota akan didukung sepenuhnya oleh DPRD. Sehingga memudahkan dalam realisasinya sebab tidak ada tarik ulur antara DPRD dengan bupati/walikota.

Kedua, dengan adanya otda, maka pusat akan melepaskan tanggungjawabnya dalam mendanai daerah. Persepsi tidaklah dibenarkan karena tetap menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah Pusat untuk memberi dukungan dan bantuan kepada Daerah, baik berupa bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintah kepada personil yang ada di daerah, ataupun berupa dukungan keuangan. Ketakutan bahwa hal itu akan mengurangi makna otonomi, itu merupakan hal yang salah. Karena kita harus berpikir dalam kerangka Negara Kesatuan, dimana pemerintah Pusat tetap mempunyai tanggung jawab dalam memberikan dukungan kepada Daerah dalam bentuk apa saja.

Permasalahan atas alokasi dana kepada daerah sebenarnya sudah terjawab jika lokus otonomi diletakkan pada Kabupaten/Kota. Karena bupati/walikota yang dipilih oleh DPRD akan terjadi efisiensi besar-besaran dana dalam pilkada. Sehingga dana tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain yang dibutuhkan pemerintah daerah.

Ketiga, kualitas kepemimpinan dibutuhkan untuk memperbaiki dan membangun kualitas birokrasi pemerintahan. Pemimpin selaiknya menjadi rule model bagi bawahannya, terlebih lagi kepada rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin tentunya harus cerdas, tegas, serta terampil. Cerdas dalam menyikapi permasalahan dan menemukan solusi yang solutif. Tegas dalam pengambilan keputusan dan bertanggung jawab. Terampil dalam menciptakan inovasi-inovasi pada wilayah kekuasaannya.

Adalah Partai Politik (parpol) sebagai salah satu pilar demokrasi yang mempunyai kewenangan dalam menentukan pemimpin-pemimpin daerah. Seyogianya tolak ukur yang dijadikan parpol ketika melakukan rekrutmen terhadap calon-calon pemimpin daerah tidak hanya pada modal material saja, tetapi juga modal moral yang bagus. Penulis sangat setuju dengan pendapat Prof. Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa “jika ingin menentukan pemimpin yang berkualitas maka harus dilihat dari track recordnya”. Dengan melalui itu maka akan terlihat orang yang dapat dan pantas untuk memimpin serta yang tidak.

Kemudian, UU kembali  harus mengatur secara tegas tentang persyaratan para calon gubernur, bupati/walikota. Karena memang kecakapan serta integritas mereka dibutuhkan untuk memajukan daerahnya. Selain itu, menanggapi permasalahan praktik dinasti politik disejumlah daerah, UU harus memberikan jenjang terhadap anggota keluarga yang ingin mencalon sebagai gubernur atau bupati/walikota. Artinya, ketika salah satu keluarga menjadi kepala daerah maka seseorang yang masih mempunyai status keluarga dengannya harus menunggu satu putaran pemilihan lagi untuk dapat mencalonkan dirinya.

Penutup 
Berdasarkan uraian permasalahan otda di atas, mengidentifikasikan bahwa implementasi otda belum memunculkan kesejahteraan nasional, masih banyak sekali permasalahan yang menjangkiti sistem birokrasi pemerintah daerah. Baik aktor pelaksana yang sangat korup maupun sistemnya yang masih amburadul.

Penekanan lokus  Otonomi pada Kabupaten/Kota ternyata tidak menimbulkan pengaruh positif yang berarti. Ketidaksiapan kabupaten/kota dalam menerima kewenangan lebih banyak menimbulkan permasalahan sendiri. Terlebih dengan data yang telah diuraikan di atas, tercatat bahwa Bupati/walikota menjadi pejabat terkorup.

Dengan demikian perlu adanya reformasi babak kedua untu mengatasinya. Yaitu dengan meletakkan lokus otonomi pada Provinsi sebagai solusi atas permasalahan yang timbul selama ini. Adapun keuntungan dan kelebihan yang dimilikinya telah penulis uraikan di atas. Maka dari itu pemerintah harus berani merubah lokus otonomi melalui pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai payung hukumnya.

Ditulis oleh : M. Yasin Al-arif
dipersentasikan dalam konferensi
Hukum Tata Negara, 05 Oktober 2013
di Brawijaya, Malang

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                             

You Might Also Like

0 komentar

Entri Populer

Flickr Images