Konstitusionalitas Pembatalan Perda

Peraturan daerah atau yang sering kita sebut sebagai perda adalah produk hukum daerah yang digunakan untuk mengurus dan mengatur jalannya pemerintahan daerah. Perda dapat dikatakan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat di daerah dan ruh otonomi daerah. Sehingga tidak salah di era otonomi daerah, berbagai daerah berlomba-lomba membentuk perda.

Beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 13/06/2016, presiden Jokowi mengumumkan pembatalan perda sebanyak 3143 yang dinilai bermasalah. Pembatalan perda ini menurut presiden  menghambat kecepatan dalam menghadapi kompetisi meningkatkan investasi. Selain itu, ribuan Perda yang dibatalkan tersebut menghambat semangat kebhinekaan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Pembatalan ini terkesan dilakukan secara sepihak. Pasalnya, Presiden melalui Kementrian Dalam Negeri dengan dalih mempunyai kewenangan executive review memberikan penilaian secara subjektif bahwa perda menghambat investasi. Padahal perda tersebut sudah melalui mekanisme verifikasi oleh kemendagri ketika masih dalam wujud raperda sebagaimana ketentuan dalam Permendagri No. 80 tahun 2015 tentang pembentukan produk hukum daerah Pasal 91.

Sehingga pembatalan perda terlihat politis dan patut diduga bahwa ada kepentingan yang berbeda dari pemerintah pusat terhadap pembangunan dan investasi investasi di daerah. Terlebih lagi pemerintah belum memberikan transparansi perda mana saja yang dibatalkan.

Tentu ini menimbulkan gejolak ditingkatan daerah, karena harus menderegulasi peraturan yang sudah jalan. Meskipun demikian, sebenarnya pemerintah daerah masih dapat melakukan perlawanan terhadap pembatalan tersebut jika mampu membuktikan bahwa perda yang dibatalkan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kepentingan umum atau kesusilaan.

Dikotomi Regulasi

Banyak pihak yang mempersoalkan tindakan pemerintah dalam pembatalan perda merupakan ego sentris pemerintah pusat. Menanggapi hal itu Tjahjo Kumolo selaku mendagri membantah tuduhan dengan mengatakan bahwa pembatalan perda sudah sesuai dengan prosedur hukum berdasarkan UU No. 23 tahun 2014 Pasal  251.

Pertanyaannya apakah pengaturan yang dituangkan dalam UU No. 23 tahun 2014 terkait mekanisme pembatalan perda sudah benar dan tidak bertentangan dengan konstitusi ataupun undang-undang lainnya?. Disinilah terjadinya dikotomi atas konsep pembatalan perda.

Berdasarkan pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Ketentuan ini dipertegas pula dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan Pasal 9 ayat (2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Melalui ketentuan ini, pembatalan perda mestinya melalui pintu Mahkamah Agung dengan mekanisme judicial review. Namun ketentuan ini ternyata tidak ditaati oleh pemerintah dalam merumuskan undang-undang pemerintah daerah.  Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dalam waktu 60 hari pemerintah pusat dapat membatalkan perda setelah perda disepakati oleh DPRD dan Gubernur/Bupati.

Menurut penulis ketentuan ini tidak sejalan amanat konstitusi dan semangat otonomi daerah. Sehingga dapat dikatakan bahwa proses pembatalan perda oleh pemerintah pusat adalah inkonstitusional. Jika pemerintah pusat mendalilkan bahwa hal di atas adalah sebagai bentuk pengawasan dari pusat terhadap pemerintah daerah seharusnya mekanisme tersebut dapat dilakukan dengan proses evaluasi dan klarifikasi ketika masih dalam bentuk raperda.

Dua Alternatif

Anehnya kesalahan ini tidak dijadikan pelajaran ketika merevisi undang-undang pemerintah daerah. Sehingga kesalahan ini terulang dalam ketentuan UU No. 23 tahun 2014, malah ketentuan pembatalan perda ini terkesan sentralistis-otoriter. Pasalnya batasan waktu 60 hari yang digunakan pemerintah pusat untuk menguji perda setelah mendapatkan kesepakatan antara DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota di hilangkan. Sehingga pemerintah pusat dapat sewaktu-waktu melakukan pembatalan perda.  

Menanggapi kisruh hukum ini, setidaknya ada dua alternatif yang dapat ditawarkan. Pertama, pemerintah daerah dapat mengabaikan pembatalan perda yang sudah dilakukan presiden Jokowi karena pembatalan tersebut inskonstitusional. Kedua, melakukan pengujian konstitusionalitas UU No. 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah kepada Mahkamah Konstitusi.   


Diterbitkan pada kolom OPINI koran Kedaulatan Rakyat (KR) tanggal 23 Juni 2016

You Might Also Like

0 komentar

Entri Populer

Flickr Images