Bahaya Laten Korupsi
Sederet berita tentang korupsi yang disuguhkan oleh pelbagai media massa, khususnya koran dan majalah membuat ‘muak’ para penikmat pembaca berita di koran maupun majalah. Bagaimana tidak? Berita tersebut tanpa hentinya menghiasi rubrik-rubrik di media massa. Apa lagi berita yang disampaikan merupakan kasus yang belum terselesaikan hingga bertahun-tahun.
Sebut saja kasus Bailot Bank Century yang populer sejak tahun 2008 silam hingga sekarang belum ada kepastian penyelesaiannya. Terlebih lagi kasus Wisma Atlet SEA Games yang saat ini tengah menjadi berita hangat di media massa karena ditetapkannya Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka. Kasus ini marak sejak tahun 2011 yang sampai detik ini masih sering diberitakan.
Tak hentinya pemberitaan korupsi yang disajikan oleh pelbagai media massa tersebut menggambarkan semakin akutnya penyakit kronis korupsi yang menjangkiti bangsa ini. Fakta ini lah yang dengan berat hati harus diterima oleh rakyat Indonesia. Ironis, bangsa yang berlandaskan pancasila, menjungjung tinggi norma-norma agama, namun tingkah laku penegak hukumnya seperti ‘buaya’ yang haus akan harta.
Tidak dapat dibantah lagi, jika korupsi sudah membudaya di Negeri ini. Pasalnya, korupsi menjadi hal yang lumrah sehingga tidak dianggap aneh apabila seseorang melakukan korupsi. Bahkan perilaku koruptif menjadi harus dilakukan karena menganggapnya sebagai bagian dari culture bangsa. Hal ini berakibat kian lesapnya nilai-nilai moral yang sejak dulu tertanam di dalam diri bangsa Indonesia.
“Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutly.” Adagium tersebut diungkapkan Lord Acton –seorang sejarawan berkebangsaan Inggris– sebagai jawaban atas ‘kerisauan’ yang selama ini timbul dalam diri bangsa Indonesia. Sebab, pejabat pemegang kekuasaan lah yang acapkali melakukan korupsi. Perilaku individualisme para pejabat yang mendasari tindakan koruptif untuk mencari keuntungan dengan kekuasaan yang ada di tangannya.
Seiring berjalannya waktu bahaya laten korupsi mengalir kian deras. Korupsi seolah semakin menjadi-jadi. Berbagai sektor kehidupan mulai terjangkiti penyakit kronis korupsi. Bahaya tersebut berdampak pada tergerusnya nilai-nilai moral bangsa yang berakibat pada terbunuhnya generasi bangsa yang bersih dari tindakan amoral korupsi.
Pemberantasan KKN merupakan salah satu agenda Reformasi 1998 yang hingga kini belum sepenuhnya terealisasikan. Jika kita cermati upaya pemberantasan korupsi sudah ditekuni selama 14 tahun sejak Reformasi digulirkan. Namun belum menuai hasil yang memuaskan. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya komitmen dan saling dukung di antara lembaga penegak hukum.
Korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) telah meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan negara yang bermartabat. Menurunkan derajat bangsa di mata dunia. Tentu perlu adanya upaya yang luar biasa pula untuk memberantas bahaya laten korupsi hingga akar(-akar)nya.
Untuk mewujudkan itu, tentunya harus adanya komitmen yang kuat dari pemerintah untuk memberantas korupsi. Tidak hanya KPK yang berkomitmen memberantas korupsi, melainkan harus didukung oleh semua instrumen negara. Mulai dari Presiden, Menteri, DPR, MA, MK, Kejaksaan hingga Kepolisian.
Sebagai penutup, penulis sepakat dengan pendapat yang diungkapkan oleh Prof. Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi) yaitu perlu adanya pemutihan, pemangkasan secara masif terhadap pejabat-pejabat koruptif, sehingga generasi selanjutnya akan bebas dari perilaku koruptif.
M. Yasin Al-arif
Mahasiswa Fakultas Hukum UII
0 komentar