Penguatan Fungsi DPD Sebagai Upaya Mewujudkan Strong Bicameral Melalui Amandemen Ke-5
Munculnya gagasan amandemen UUD 1945 kelima salah satunya
dilatarbelakangi oleh pandangan yang mengansumsikan bahwa UUD 1945 hasil
amandemen keempat masih memiliki banyak kekurangan. Menurut Syamsuddin Haris,
peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kekurangan tersebut dapat
dilihat dari sifatnya masih tambal sulam, proses amandemen yang hanya terjebak
pada kepentingan jangka pendek, perubahan tidak sistematik dan tidak terpola,
serta kualitas dan substansinya tidak koheren dan inkonsisten (hukumonline.com,
20/01/ 2014).
Perbincangan di seputar hasil perubahan UUD 1945 akhir-akhir ini
marak kembali dan mencakup kalangan yang lebih meluas, tidak hanya oleh
akademisi dan politisi, tetapi hampir semua kalangan masyarakat bebas
memperbincangkan UUD 1945. Sebuah suasana demokrasi yang benar-benar hidup dan
belum pernah kita rasakan pada periode sebelumnya (Ni’matul Huda, 2008: 213).
Gagasan amandemen ini sebenarnya sudah muncul sejak awal 2008 yaitu
ketika Pemerintah dan DPR sepakat menyiapkan proses perubahan kelima UUD 1945
secara menyeluruh dengan segera membentuk panitia/komisi nasional. Kesepakatan
itu diambil dalam rapat konsultasi di Istana Negara Jakarta, Jumat 25 Januari
2008 (Ni’matul Huda, Jurnal hukum, 2008: 373)
Seiring dengan berjalannya waktu, demi
terwujudnya amandemen kelima yang dianggap penting guna menyempurnakan
konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terus melakukan sosialisasi perubahan
kelima UUD 1945 yang bertujuan untuk
menumbuhkan semangat konsensus nasional mengenai perlunya penataan
kembali terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia (kompas.com, 9/11/2011). Di
samping itu, maksud dari sosialisasi juga untuk mendapatkan support dari
seluruh elemen masyarakat.
Adapun poin yang menjadi bahan pertimbangan
untuk amandemen kelima di antaranya adalah kedudukan DPD yang belum efektif,
sistem check and balances antar lembaga negara yang masih kacau,
kebingungan mengenai kedudukan MPR, menjamurnya komisi-komisi dan lembaga
negara, format pemerintah daerah yang belum bagus, format, sistematika,
koherensi, dan konsistensi UUD 1945 yang masih kacau dan bentuk negara kesatuan
yang belum berhasil mewujudkan kesejahteraan (hukumonline.com,
20/01/2014).
Di antara tujuh bahan agenda yang akan di godok dalam gagasan amandemen kelima UUD 1945 yang
telah penulis sebutkan di atas, dalam tulisan ini penulis hanya membatasi pada
kajian pentingnya penguatan fungsi DPD sebagai upaya mewujudkan strong
bicameral. Adapun yang menjadi pertimbangan penulis untuk menguatkan fungsi
DPD didasarkan pada 5 alasan.
Pertama, seperti yang kita ketahui bahwa DPD lahir
setelah MPR menyetujui perubahan ketiga UUD 1945. Lembaga DPD
lahir dengan semangat
untuk memperkuat sistem demokrasi di
Indonesia. Kekuasaan penyelenggaraan negara
yang terpusat di lembaga
eksekutif selama beberapa
dekade telah menimbulkan disparitas
sosial dan ekonomi
antara Pemerintah (pusat) dan
Pemerintah Daerah. (kelompok DPD
di MPR,2007: 7). Dengan lahirnya DPD ini
tentu muncul harapan besar untuk dapat memperjuangakan kepentingan-kepentingan
daerah guna membangun dan mengembangkan daerahnya.
Di samping itu, dengan lahirnya DPD ini secara
tidak langsung mengubah wajah parlemen kita menjadi parlemen bikameral yaitu
sistem dua kamar, kamar pertama ditempati oleh DPR sebagai perwakilan rakyat
dan kamar kedua ditempati oleh DPD sebagai perwakilan daerah. Dengan adanya DPD
ini dimaksudkan pula agar terciptanya prinsip perimbangan (check and
balances) di antara dua lembaga negara tersebut guna menghindari
penyalahgunaan kekuasaan atau tindakan melampaui wewenang.
Kedua, menurut Denny Indrayana meskipun DPD secara
jelas hadir sebagai lembaga negara, namun keberadaannya hampir sama dengan
ketiadaannya (wujuduhu ka ‘adamihi). DPD ada karena -salah satunya-
karena legitimasinya yang relatif kuat. Para anggotanya dipilih langsung
melalui sistem pemilu distrik berwakil banyak. Namun, DPD juga ‘tiada’. Karena,
kuatnya legitimasi hasil pemilu itu tidak berjalan seiring dengan kewenangannya
yang cenderung minimalis, terlebih jika dikomparasikan dengan kewenangan DPR.
(Denny Indrayana,2008: 299).
Di dalam UUD 1945 perubahan yang keempat, DPD
sama sekali tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan. DPD hanya memberikan
masukan pertimbangan, usul, ataupun saran. Hal ini dapat dilihat pada pasal 22D
yang mengatur tentang kewenangan DPD. Sedangkan yang berhak memutuskan adalah
DPR. Sehingga keberadaan DPD di samping DPR tidak dapat disebut sebagai
bikameralisme dalam arti lazim. (Ni’matul Huda,2008: 238). Dengan keberadaan
DPD yang demikian lemah dibanding DPR yang mempunyai kewenangan yang banyak (power
full) berdampak pada terhambatnya sistem check and balances di
antara dua lembaga tersebut.
Ketiga, penerapan sistem kamar parlemen selama ini
dipahami bahwa kedudukan kedua kamar itu dibidang legislatif sama kuat, maka
sifat bikameralismenya disebut ‘strong bicameralism’, tetapi jika kedua
kamar tidak sama kuat, maka disebut ‘soft bicameralism’. Akan tetapi
dalam pengaturan UUD 1945 pasca perubahan keempat, bukan saja bahwa struktur
yang dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong bicameralism’ yang
kedudukannya tidak sama kuat’ tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai ‘soft
bicameralism’ sekalipun. Dengan kata lain DPD hanya memberikan masukan,
sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD lebih tepat disebut sebagai
dewan pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya memberikan pertimbangan DPR
(Ni’matul Huda,2008: 238-239).
Keempat, Fungsi,
tugas, dan wewenang
DPD yang sudah
terbatas dalam UUD
1945 lebih dibatasi
lagi oleh peraturan
perundang-undangan di
bawahnya. Dalam Undang-Undang
Nomor 27 Tahun
2009 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD
pasal 150 diatur keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU tertentu antara
DPR dan Pemerintah hanya
pada awal Pembicaraan
Tingkat I di
DPR, sehingga DPD tidak
dapat berperan optimal
dalam pembentukan legislasi.
Sedangkan
Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan hanya mengatur kewenangan DPR dan Pemerintah dalam
penentuan prioritas Prolegnas tanpa
keterlibatan DPD, serta
tidak mengatur hal-hal
lainnya secara lebih rinci
sehingga dalam prakteknya
DPD acapkali mengajukan
suatu RUU di luar
prioritas pembahasan pada
tahun anggaran yang bersangkutan. (kelompok DPD di MPR,2007:
10).
Hal
ini tentu saja
membawa dampak yuridis
tertentu, karena usulan DPD
seringkali hanya terhenti sebatas disampaikan dalam suatu acara yang
bersifat seremonial antara
Pimpinan DPD dengan
Pimpinan DPR tanpa adanya
tindak lanjut yang
berarti secara yuridis konstitusional (kelompok DPD di
MPR,2007: 10).
Kelima alasan yang kelima ini yang menjadi penentu
harapan baru untuk dapat merealisasikan penguatan DPD agar dapat sejajar dengan
DPR yaitu melalui perubahan UUD 1945. Karena UUD 1945
merupakan sumber hukum
tertinggi, dan undang-undang
merupakan produk hukum
turunannya yang berisi
aturan yang lebih teknis.
Bila penguatan kewenangan
DPD hanya dilakukan melalui revisi
Undang-Undang, maka peran
DPD tetap tidak
dapat optimal mengingat kewenangan
DPD yang sangat
terbatas dalam UUD 1945. Selain itu, penguatan kewenangan
DPD melalui revisi UU dapat bertentangan dengan UUD 1945. (kelompok DPD di
MPR,2007: 11). Dengan demikian muncul harapan besar agar dapat terealisasinya
amandemen kelima ini.
DPD Usulan ke depan
Dari empat alasan yang telah penulis paparkan
di atas terlihat bahwa terjadi ketidak seimbangan antara DPD dan DPR sehingga
menyebabkan sistem parlemen yang condong ke arah soft bicameral karena
perbedaan kewenangan yang sangat signifikan. sehingga berdampak pada cacatnya
sistem legislasi. Dengan demikian, dalam gagasan amandemen UUD1945 kelima ini
usulan DPD kedepan terkait dengan fungsi dan kewenagannya adalah sebagai
berikut :
Pertama, dalam
bidang legislasi DPD harus diberikan kewenangan yang sama dengan DPR. DPD tidak
hanya terbatas memberikan pertimbangan, tetapi turut mempunyai hak
suara untuk menentukan
lolos tidaknya Rancangan
Undang-Undang (RUU). Seperti yang dijelaskan dalam UU No 27 tahun 2009 bahwa
terdapat dua tingkat pembicaraan yaitu pembicaraan 1 menyangkut tentang pengantar
musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan penyampaian pendapat
mini. Kemudian pembicaraan 2 merupakan pengambilan keputusan paripurna. Dalam
hal ini DPD harus diikutsertakan dalam
pembicaraan tahap 2 untuk ikut serta dalam keputusan paripurna.
Kedua, dalam hal menegakkan prinsip perimbangan (check
and balances) antara DPD dan DPR, DPR
RI yang anggotanya dipilih
berdasar jumlah penduduk
dan melalui partai-partai, maka
Anggota DPD dipilih
berdasar keterwakilan daerah dan
secara perseorangan. Kedua
sistem ini bisa
saling mengisi, mengimbangi, dan
menjaga (checks and balances)
antar lembaga perwakilan. (kelompok
DPD di MPR,2007: 22).
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, senat
setiap anggota bagian memiliki 2 orang senator untuk mewakili mereka dalam
senat, tidak tergantung dari luas daerah dan jumlah penduduk di negara bagian
tersebut. Para senator dipilih melalui pemilu lokal dan memiliki jabatan selama
6 tahun. Penggantian senator tidak dilakukan serentak. Setiap 2 tahun sekali
diadakan pemilihan anggota senat, di mana
1/3 dari anggota senat habis masa jabatannya dan diganti dengan anggota
baru (Nomensen Sinamo,2010: 138-139).
Ketiga, kewenangan
pengawasan (oversight)
DPD harus memiliki kekuatan
hukum yang sama
dengan DPR, agar
supaya pengawasan tersebut bisa
efektif. Kemudian hasil
pengawasannya tidak hanya disampaikan
kepada DPR RI
tetapi juga kepada
Pemerintah untuk ditindaklanjuti. Untuk
menghindari terjadinya
duplikasi dengan DPR
dapat diatur pembagian
kewenangan dan tanggung jawab
pengawasan antara kedua
lembaga tersebut. Misalnya, pengawasan
DPD lebih terfokus
di daerah dan DPR RI di pusat (kelompok DPD di MPR,2007:24).
Kesimpulan
Dari uraian panjang yang telah penulis
kemukakan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dengan lahirnya DPD pasca
amandemen ketiga mengubah wajah parlemen menjadi parlemen bikameral. Menurut Giovanni Sartori
bahwa sistem bikameral yang ideal adalah strong bicameral yaitu apabila
kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama kuat.
Jamak diketahui bahwa UUD 1945 hasil amandemen kelima sama sekali belum
memberikan DPD kewenangan yang seimbang dengan DPR. Apalagi hasil amandemen
tersebut cendrung mengarah kepada legislative heavy, sehingga DPD tidak
mempunyai daya untuk mengimbangi DPR.
Dengan demikian untuk mewujudkan strong
bicameral yang ideal maka dalam gagasan amandemen kelima, DPD harus diperkuat.
yaitu pertama, dibidang legislasi DPD harus mempunyai kewenangan yang
sama dengan DPR dalam membahas RUU. Tidak hanya memberikan pertimbangan dan
usulan saja melainkan juga memberikan suara lolos tidaknya RUU yang dibahas
tersebut.
Kedua, untuk menegakkan check and balances
antara DPD dan DPR, DPD Anggota DPD dipilih
berdasar keterwakilan daerah dan
secara perseorangan. Sehingga
kedua lembaga ini saling mengisi, mengimbangi dan menjaga. Ketiga, dalam
bidang pengawasan, kewenganan pengawasan
DPD harus mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan DPR. Kemudian hasil
pengawasan tersebut tidak hanya diserahkan kepada DPR RI tapi juga kepada
pemerintah untuk ditindaklanjuti.
2 komentar
Hay yasin ..
BalasHapusAku suka baca postingan blogmu ..
Keren2 heehe
makasih jelekkkk.. :)
Hapus