Redesain Konsep Koalisi Partai Politik Sebagai Upaya Penguatan Sistem Presidensial
Kebebasan membentuk partai politik pada saat itu memang tidak lepas dari
usaha kelompok Sjahrir yang mampu menggeser arus besar kekuasaan, tanpa
mengubah UUD 1945 sistem pemerintahan negara kita dalam dalam waktu 3 bulan
berubah menjadi sistem parlementer, yaitu ketika Kelompok Sjahrir berhasil
mendorong perubahan dan perluasan fungsi Komite Nasional Pusat (KNIP) dengan
dibentuknya Badan Pekerja (BP-KNIP) yang akan berfungsi sebagai Parlemen.
Bahkan Sjahrir berhasil meyakinkan Pemerintah (Soekarno-Hatta) untuk “share”
dalam bidang pemerintahan dengan memberikan kewenangan pemerintahan kepada KNIP
yang akan membentuk kabinet.[1]
Namun demikian, sistem
pemerintahan parlementer di Indonesia tidak lah bertahan lama, dengan
dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1945, sebuah keputusan Presiden
Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Dengan dekrit Presiden ini
menandai kembalinya sistem Presidensial di Indonesia, walaupun belum sepenuhnya
menjadi presidensial yang murni. Pasalnya kekuasaan Presiden menjadi sangat
tidak terbatas. Hal ini ditunjukkan pada tanggal 4 Juni 1960 Soekarno
membubarkan DPR hasil Pemilu 1955.[2]
Sejalan dengan pergantian
kepemimpinan Presiden yang diambil alih oleh Soeharto melalui Surat Perintah
Sebelas Maret (SUPERSEMAR), partai politik di era orde baru juga semakin di
kekang. Bahkan hanya tiga partai politik yang mampu bersaing mengikuti
pemilihan umum, yaitu PDI, PPP, dan Golkar ( yang saat itu tidak mau dinamakan
partai politik). Semakin gelisah melihat otoritarianisme yang dikendalikan oleh
Soeharto akhirnya rakyat Indonesia yang diwakili oleh para mahasiswa mampu
meruntuhkan rezim Soerharto pada tahun 1998. Peristiwa inilah yang sering
dikenal dengan era Reformasi.
Salah satu agenda penting
dalam reformasi tersebut adalah perubahan UUD 1945. Akhirnya pada tahun 1999 untuk pertama kalinya amandeman UUD 1945
dilaksanakan. Point penting dalam perubahan UUD 1945 yang disepakati oleh
Panitia PAH I adalah penguatan Presidensial. Namun sangat disayangkan Penguatan
Presidensial harus dihadapkan pada pembentukan UU partai politik. Artinya
kebebasan pembentukan partai politik mendapatkan legitimasi yang kuat. Sehingga
pertumbuhan partai politik ditengah sistem presidensial tidak dapat
dihindarkan.
Seperti yang terlihat
sekarang ini, konstalasi politik menghendaki sistem kepartaian di Indonesia
menjadi sistem multipartai, karena banyaknya partai politik yang ada sekarang
ini. Multipartai yang dihadapkan dengan sistem presidensial bukanlah pasangan
yang serasi. Akibatnya fenomena koalisi yang seharusnya tidak terjadi menjelang pemilihan presiden menjadi hal yang
terelakkan.
Terjadinya fenomena
koalisi ini memang tidak terjadi begitu saja, menilik desain sistem pemilu
presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi.
Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta
pemilu. Kemudian, UU Pilpres (yang baru) mengharuskan syarat dukungan paling
sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional
dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.[3]
Tidak dapat dipungkiri
bahwa koalisi parpol sulit dihindari dalam koalisi multipartai yang keluaran
politiknya cenderung terfragmentasi. Kemunculan koalisi partai politik dalam
kondisi multi partai bukanlah sebuah penyimpangan sistem presidensial, tetapi
justru sebuah bentuk kompromi untuk stabilitas dan keseimbangan berjalannya
sistem politik.[4]
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dalam makalah ini penulis hanya
menfokuskan pada permasalahan bagaimana mendesain ulang koalisi antar partai
ditengah multipartai agar menjadi koalisi yang kokoh sebagai upaya penguatan
sistem presidensial?
Analisis Terhadap Rapuhnya Koalisi di Indonesia
Dalam sistem Presidensial, pembentukan koalisi memiliki makna yang
sedikit berbeda dengan sistem Parlementer. Ada dua tujuan yang mendasari
pembenrukan koalisi: pertama, menggalang tujuan dukungan partai dalam proses
pencalonan dan pemenangan pemilihan Presiden. Kedua, mengamankan jalnnya
(stabilitas) pemerintahan. Itu artinya koalisi dibentuk untuk memperoleh
dukungan politik atas inisiatif dan kebijakan Presiden. Adanya koalisi membuat
kebijakan Presiden menjadi lebih predictable dan sederhana dibandingkan dengan
hanya mengandalkan dukungan ad hoc dari kebijakan yang satu ke kebijakan
lainnya.[5]
Corak koalisi parpol di
Indonesia dalam praktik perpaduan sistem presidensial dan multipartai saat ini
bersifat rapuh. Kerapuhan koalisi ini disebabkan beberapa persoalan.[6] Pertama,
komposisi dan jumlah partai dalam koalisi pemerintahan selalu berubah- ubah
setiap pergantian pemerintahan. Sistem multipartai merupakan implikasi dari
heterogenitas golongan dan kepentingan masyarakat. Komposisi pemerintahan
memperoleh kursi legislatif. Komposisi parlemen akan memengaruhi komposisi
koalisi dalam pemerintahan.
Kedua, konsekuensi dari pemerintahan koalisi
multipartai adalah koalisi pemerintahan tidak menjadikan kedekatan ideologi
partai atau common platform sebagai faktor determinan, tetapi lebih didasarkan
pada political interest kekuasaan saja. Akibatnya, koalisi pemerintahan akan
memiliki daya rekat rendah dan rapuh, sehingga koalisi yang terbangun bukan
koalisi ideologis yang solid melainkan koalisi yang bersifat taktis pragmatis.
Ketiga, karakteristik institusionalisasi sistem
multipartai di Indonesia adalah rendahnya tingkat pelembagaan,
terfragmentasinya kekuatan politik di parlemen, dan munculnya koalisi parpol
dengan ikatan yang rapuh dan pragmatis, diistilahkan dengan multipartai pragmatis.
Istilah ini untuk sekedar menyebutkan kekhasan atau karakteristik khusus dari
multipartai di Indonesia.
Selain itu, modal koalisi
yang berkembang dalam lima tahun terakhir menunjukkan perilaku partai dalam
meracik menu koalisi dipengaruhi oleh dua karakter: karakter pertama,
uapaya memburu jabatan (office seeking), di mana perilaku partai dalam
membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang
dalam memperoleh posisi di kabinet pemerintahan yang akan terbentuk. Sehingga
akhirnya dalam memilih mitra koalisi, elite politik cenderung didorong oleh
keinginan untuk memaksimalkan proses negosiasi dalam power sharing,
itulah sebabnya muncul manuver di
internal partai untuk merapat pada kandidat yang potensial menang dalam
pilpres.[7]
Karakter kedua, modus
pencari suara (vote seeking), di mana elite partai politik dalam
membentuk koalisi lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan. Modus
untuk menang itulah yang memebuat partai membuka diri pada siapa saja yang
ingin masuk (catch all), asal kemenangan dalam pilpres bisa diraih.
Dalam logika catch all ini tidak adal alasan bagi partai untuk menilak
sekutu yang ingin bergabung mengalahkan kompetitor. Dalam konteks semacam ini,
jarak ideologi bukan sesuatu yang penting. Yang paling penting adalah
memenangkan pertarunga. Itulah sebabnya, dalam logika vote seeking akan muncul
paradoks dalam proses pembentukankoalisi, dimana partai-partai yang memiliki
jarak ideologis yang lebar bisa bertemu.
Membentuk Koalisi yang Kokoh dan Permanen
Menurut Scott Mainwaring,
kombinasi antara sistem partai berfraksi dan presidensialisme tidak mendorong
stabilitas demokrasi karena kombinasi ini mudah menimbulkan berbagai kesulitan
dalam hubungan antara presiden dan kongres. Agar efektif, maka pemerintah harus
mampu meneruskan langkah-langkah kebijaksanaan yang sulit dilakukan ketika
eksekutif menghadapi oposisi mayoritas di badan legislatif. Setidaknya ada tiga
pilihan yang ditawarkan oleh Mainwaring untuk dilakukan Presiden guna
menghindari konflik antara eksekutif dengan legislatif, salah satunya yaitu
membentuk pemerintah koalisi. Meskipun demikan, pilihan ini juga tidak
memberikan harapan baik bagi stabilitas demokrasi.[8]
Dari uraian di atas maka
semakin memperkuat pendapat bahwa pembentukan koalisi bukan untuk dihindari
tapi harus dibentuk dengan pertimbangan dan pertimbangan yang matang. Dengan
demikan, untuk menghindari fenomena terjadinya koalisi yang rapuh seperti yang
terjadi saat ini, maka diperlukan usaha-usaha tertentu untuk perbaikan
kedepannya sebagai usaha penguatan sistem Presidensial.
Oleh karena itu, ada beberapa
langkah yang harus dilakukan dalam rangka membentuk koalisi yang kokoh dan mencegah
munculnya koalisi politik pragmatis. Pertama, pemilu presiden tidak lagi
mengikuti hasil pemilu legislatif. Hal ini penting supaya hasil pemilu
legislatif tidak mendikte proses pembentukan koalisi dalam pemilu Presiden. Itu
bisa dilakukan secara bersamaan. Sehingga nantinya akan ada pemilu nasional dan
pemilu lokal.[9]
Kedua, proses koalisi harus dilakukan sebelum pemilu legislatif dan
presiden. Koalisi antar partai dibangun berbasis pada kesamaan platform
kebijakan yang diusung oleh koalisi tersebut. instrumentasi dari koalisi bisa
berbentuk mekanisme Stanbus occord untuk pemilu legislatif maupun koalisi untuk
mencalonkan kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Untuk memperkuat soliditas,
koalisi antar partai menyepakati platform kebijakan yang diusung, kelembagaan
koalisi, etika dalam koalisi (code of conduct), yang boleh dan tidak
boleh berbeda dan reward-punishment.[10]
Ketiga, Wakil Presiden ditunjuk oleh Presiden yang
diusung oleh koalisi partai. Hal ini untuk menghindari fenomena “matahari
kembar” (mempunyai posisi politik yang sama-sama kuat).[11]Keempat,,
koalisi parpol yang kandidatnya menang harus menjadi pendukung pemerintah,
sebaliknya koalisi parpol yang kalah menstinya menjadi oposisi. Dengan
demikian, hanya ada dua blok koalisi besar di parlemen, yaitu koalisi pendukung
pemerintah dan koalisi aposisi. Parlemen akan akan lebih sederhana dan
produktif dengan hanya dua blok koalisi permanin sehingga proses politik pun
kaan lebih efisien dan efektif. Koalisi ini perlu diatur dan diikat
undang-undang agar tidak bisa dicabut atau bubar di tengah jalan dengan mudah.
Karena itu, regulasi mengenai koalisi ini perlu dilembagakan dalam sebuah
undang-undang.[12]
Kesimpulan
Dari uraian panjang yang telah penulis paparkan di atas, maka kesimpulan
yang diambil adalah bahwa sistem multi partai yang dihadapkan dengan sistem
pemerintahan presidensial menyebabkan pembentukan koalisi antar partai saat
pemilihan presiden yang tak terekkan. Selain pembentukan koalisi yang mendapat
jaminan hukum dalam konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) juga konstelasi politik
yang terjadi menghendaki demikian. Seperti halnya adanya ambang batas untuk
mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden dari parpol, sehingga mau tidak mau
partai yang tidak melampaui ambang batas harus membentuk koalisi dalam rangka
dapat menjadi peserta dalam pilpres.
Koalisi yang dibangun
tidak atas dasar persamaan ide dan platform oleh parpol yang berkoalisi membuat
koalisi menjadi rapuh. Selain itu,
komposisi dan jumlah partai dalam koalisi pemerintahan selalu berubah- ubah
setiap pergantian pemerintahan. Rapuhnya koalisi yang dibangun juga disebabkan
karena perilaku perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada
kehendak untuk memperbesar peluang dalam memperoleh posisi di kabinet
pemerintahan yang akan terbentuk. Sehingga akhirnya dalam memilih mitra
koalisi, elite politik cenderung didorong oleh keinginan untuk memaksimalkan proses
negosiasi dalam power sharing.
Dengan untuk mencegah
terjadinya koalisi yang rapuh seperti saat ini, maka setidaknya ada empat
langkah yang harus dilakukan. Pertama, pemilu presiden tidak lagi
mengikuti hasil pemilu legislatif. Kedua, proses koalisi harus dilakukan
sebelum pemilu legislatif dan presiden. Ketiga, Wakil Presiden ditunjuk
oleh Presiden yang diusung oleh koalisi partai. Kelima, koalisi parpol
yang kandidatnya menang harus menjadi pendukung pemerintah, sebaliknya koalisi
parpol yang kalah menstinya menjadi oposisi.
Daftar Pustaka
Dwipayana, AA GN Ari. Multi Partai, Presidensialisme
dan Efektivitas Pemerintah, disampaikan pada seminar “Membedah
Undang-Undang Partai Politik” Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII kerjasama
dengan Hanns Seidel Foundation Indonesia, di Yogyakarta Pada tanggal 9 April
2011
Isra, Saldi. Simalakama Koalisi Sistem
Presidensial, opini Kompas, Kamis, 27 November 2008.
Mainwaring, Scott. Presidensialisme di Amerika Latin,
dalam buku Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial,
Terjemahan: Ibrahim R.dkk, Jakarta:Raja Grafindo Persada: 2010
Sidqi, Sexio Yuni Noor. Anomali Sistem Presidensial
(Evaluasi Praktek Politik Parlementarian) dalam Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum Vol. 15 No,1, Januari 2008.
Yuda AR, Hanta. Presidensialisme Setengah Hati,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010
[1] Sexio Yuni Noor Sidqi, Anomali Sistem Presidensial (Evaluasi Praktek
Politik Parlementarian) dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Vol. 15 No,1,
Januari 2008, hlm. 39
[2] Ibid, hlm.42
[3] Saldi Isra, Simalakama Koalisi Sistem Presidensial, opini Kompas,
Kamis, 27 November 2008.
[4] Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010,hlm.29
[5] AA GN Ari Dwipayana, Multi Partai, Presidensialisme dan Efektivitas
Pemerintah, disampaikan pada seminar “Membedah Undang-Undang Partai
Politik” Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII kerjasama dengan Hanns Seidel
Foundation Indonesia, di Yogyakarta Pada tanggal 9 April 2011.
[6] Ibid,hlm37
[7] AA GN Ari Dwipayana, Multi Partai.....Loc.Cit
[8] Scott Mainwaring, Presidensialisme di Amerika Latin, dalam buku
Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Terjemahan:
Ibrahim R.dkk, Jakarta:Raja Grafindo Persada: 2010, hlm.120-121
[9] AA GN Ari Dwipayana, Multi Partai...... Loc.Cit
[10] Ibid..
[11] Ibid...
[12] Hanta Yuda AR, Presidensialisme..Op.Cit.Hlm.290
0 komentar