Redesain Konsep Koalisi Partai Politik Sebagai Upaya Penguatan Sistem Presidensial


  Sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah No X tanggal 16 Oktober 1945 tentang pembentukan partai-partai politik, Indonesia yang belum lama mendeklarasikan kemerdekannya dipenuhi dengan tumbuhnya partai politik. Bak jamur yang tumbuh setelah hujan, partai politik tumbuh kian lama kian banyak.
Kebebasan membentuk partai politik pada saat itu memang tidak lepas dari usaha kelompok Sjahrir yang mampu menggeser arus besar kekuasaan, tanpa mengubah UUD 1945 sistem pemerintahan negara kita dalam dalam waktu 3 bulan berubah menjadi sistem parlementer, yaitu ketika Kelompok Sjahrir berhasil mendorong perubahan dan perluasan fungsi Komite Nasional Pusat (KNIP) dengan dibentuknya Badan Pekerja (BP-KNIP) yang akan berfungsi sebagai Parlemen. Bahkan Sjahrir berhasil meyakinkan Pemerintah (Soekarno-Hatta) untuk “share” dalam bidang pemerintahan dengan memberikan kewenangan pemerintahan kepada KNIP yang akan membentuk kabinet.[1]
            Namun demikian, sistem pemerintahan parlementer di Indonesia tidak lah bertahan lama, dengan dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1945, sebuah keputusan Presiden Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945. Dengan dekrit Presiden ini menandai kembalinya sistem Presidensial di Indonesia, walaupun belum sepenuhnya menjadi presidensial yang murni. Pasalnya kekuasaan Presiden menjadi sangat tidak terbatas. Hal ini ditunjukkan pada tanggal 4 Juni 1960 Soekarno membubarkan DPR hasil Pemilu 1955.[2]
            Sejalan dengan pergantian kepemimpinan Presiden yang diambil alih oleh Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR), partai politik di era orde baru juga semakin di kekang. Bahkan hanya tiga partai politik yang mampu bersaing mengikuti pemilihan umum, yaitu PDI, PPP, dan Golkar ( yang saat itu tidak mau dinamakan partai politik). Semakin gelisah melihat otoritarianisme yang dikendalikan oleh Soeharto akhirnya rakyat Indonesia yang diwakili oleh para mahasiswa mampu meruntuhkan rezim Soerharto pada tahun 1998. Peristiwa inilah yang sering dikenal dengan era Reformasi.
            Salah satu agenda penting dalam reformasi tersebut adalah perubahan UUD 1945. Akhirnya pada tahun  1999 untuk pertama kalinya amandeman UUD 1945 dilaksanakan. Point penting dalam perubahan UUD 1945 yang disepakati oleh Panitia PAH I adalah penguatan Presidensial. Namun sangat disayangkan Penguatan Presidensial harus dihadapkan pada pembentukan UU partai politik. Artinya kebebasan pembentukan partai politik mendapatkan legitimasi yang kuat. Sehingga pertumbuhan partai politik ditengah sistem presidensial tidak dapat dihindarkan.
            Seperti yang terlihat sekarang ini, konstalasi politik menghendaki sistem kepartaian di Indonesia menjadi sistem multipartai, karena banyaknya partai politik yang ada sekarang ini. Multipartai yang dihadapkan dengan sistem presidensial bukanlah pasangan yang serasi. Akibatnya fenomena koalisi yang seharusnya tidak terjadi  menjelang pemilihan presiden menjadi hal yang terelakkan.
            Terjadinya fenomena koalisi ini memang tidak terjadi begitu saja, menilik desain sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, UU Pilpres (yang baru) mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.[3]
            Tidak dapat dipungkiri bahwa koalisi parpol sulit dihindari dalam koalisi multipartai yang keluaran politiknya cenderung terfragmentasi. Kemunculan koalisi partai politik dalam kondisi multi partai bukanlah sebuah penyimpangan sistem presidensial, tetapi justru sebuah bentuk kompromi untuk stabilitas dan keseimbangan berjalannya sistem politik.[4]
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dalam makalah ini penulis hanya menfokuskan pada permasalahan bagaimana mendesain ulang koalisi antar partai ditengah multipartai agar menjadi koalisi yang kokoh sebagai upaya penguatan sistem presidensial?
Analisis Terhadap Rapuhnya Koalisi di Indonesia
            Dalam sistem Presidensial, pembentukan koalisi memiliki makna yang sedikit berbeda dengan sistem Parlementer. Ada dua tujuan yang mendasari pembenrukan koalisi: pertama, menggalang tujuan dukungan partai dalam proses pencalonan dan pemenangan pemilihan Presiden. Kedua, mengamankan jalnnya (stabilitas) pemerintahan. Itu artinya koalisi dibentuk untuk memperoleh dukungan politik atas inisiatif dan kebijakan Presiden. Adanya koalisi membuat kebijakan Presiden menjadi lebih predictable dan sederhana dibandingkan dengan hanya mengandalkan dukungan ad hoc dari kebijakan yang satu ke kebijakan lainnya.[5]
            Corak koalisi parpol di Indonesia dalam praktik perpaduan sistem presidensial dan multipartai saat ini bersifat rapuh. Kerapuhan koalisi ini disebabkan beberapa persoalan.[6] Pertama, komposisi dan jumlah partai dalam koalisi pemerintahan selalu berubah- ubah setiap pergantian pemerintahan. Sistem multipartai merupakan implikasi dari heterogenitas golongan dan kepentingan masyarakat. Komposisi pemerintahan memperoleh kursi legislatif. Komposisi parlemen akan memengaruhi komposisi koalisi dalam pemerintahan.
Kedua, konsekuensi dari pemerintahan koalisi multipartai adalah koalisi pemerintahan tidak menjadikan kedekatan ideologi partai atau common platform sebagai faktor determinan, tetapi lebih didasarkan pada political interest kekuasaan saja. Akibatnya, koalisi pemerintahan akan memiliki daya rekat rendah dan rapuh, sehingga koalisi yang terbangun bukan koalisi ideologis yang solid melainkan koalisi yang bersifat taktis pragmatis.
Ketiga, karakteristik institusionalisasi sistem multipartai di Indonesia adalah rendahnya tingkat pelembagaan, terfragmentasinya kekuatan politik di parlemen, dan munculnya koalisi parpol dengan ikatan yang rapuh dan pragmatis, diistilahkan dengan multipartai pragmatis. Istilah ini untuk sekedar menyebutkan kekhasan atau karakteristik khusus dari multipartai di Indonesia. 
            Selain itu, modal koalisi yang berkembang dalam lima tahun terakhir menunjukkan perilaku partai dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh dua karakter: karakter pertama, uapaya memburu jabatan (office seeking), di mana perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang dalam memperoleh posisi di kabinet pemerintahan yang akan terbentuk. Sehingga akhirnya dalam memilih mitra koalisi, elite politik cenderung didorong oleh keinginan untuk memaksimalkan proses negosiasi dalam power sharing, itulah sebabnya muncul  manuver di internal partai untuk merapat pada kandidat yang potensial menang dalam pilpres.[7]
            Karakter kedua, modus pencari suara (vote seeking), di mana elite partai politik dalam membentuk koalisi lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan. Modus untuk menang itulah yang memebuat partai membuka diri pada siapa saja yang ingin masuk (catch all), asal kemenangan dalam pilpres bisa diraih. Dalam logika catch all ini tidak adal alasan bagi partai untuk menilak sekutu yang ingin bergabung mengalahkan kompetitor. Dalam konteks semacam ini, jarak ideologi bukan sesuatu yang penting. Yang paling penting adalah memenangkan pertarunga. Itulah sebabnya, dalam logika vote seeking akan muncul paradoks dalam proses pembentukankoalisi, dimana partai-partai yang memiliki jarak ideologis yang lebar bisa bertemu.
Membentuk Koalisi yang Kokoh dan Permanen
            Menurut Scott Mainwaring, kombinasi antara sistem partai berfraksi dan presidensialisme tidak mendorong stabilitas demokrasi karena kombinasi ini mudah menimbulkan berbagai kesulitan dalam hubungan antara presiden dan kongres. Agar efektif, maka pemerintah harus mampu meneruskan langkah-langkah kebijaksanaan yang sulit dilakukan ketika eksekutif menghadapi oposisi mayoritas di badan legislatif. Setidaknya ada tiga pilihan yang ditawarkan oleh Mainwaring untuk dilakukan Presiden guna menghindari konflik antara eksekutif dengan legislatif, salah satunya yaitu membentuk pemerintah koalisi. Meskipun demikan, pilihan ini juga tidak memberikan harapan baik bagi stabilitas demokrasi.[8]
            Dari uraian di atas maka semakin memperkuat pendapat bahwa pembentukan koalisi bukan untuk dihindari tapi harus dibentuk dengan pertimbangan dan pertimbangan yang matang. Dengan demikan, untuk menghindari fenomena terjadinya koalisi yang rapuh seperti yang terjadi saat ini, maka diperlukan usaha-usaha tertentu untuk perbaikan kedepannya sebagai usaha penguatan sistem Presidensial.
            Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam rangka membentuk koalisi yang kokoh dan mencegah munculnya koalisi politik pragmatis. Pertama, pemilu presiden tidak lagi mengikuti hasil pemilu legislatif. Hal ini penting supaya hasil pemilu legislatif tidak mendikte proses pembentukan koalisi dalam pemilu Presiden. Itu bisa dilakukan secara bersamaan. Sehingga nantinya akan ada pemilu nasional dan pemilu lokal.[9] Kedua, proses koalisi harus dilakukan sebelum pemilu legislatif dan presiden. Koalisi antar partai dibangun berbasis pada kesamaan platform kebijakan yang diusung oleh koalisi tersebut. instrumentasi dari koalisi bisa berbentuk mekanisme Stanbus occord untuk pemilu legislatif maupun koalisi untuk mencalonkan kandidat Presiden dan Wakil Presiden. Untuk memperkuat soliditas, koalisi antar partai menyepakati platform kebijakan yang diusung, kelembagaan koalisi, etika dalam koalisi (code of conduct), yang boleh dan tidak boleh berbeda dan reward-punishment.[10]
Ketiga, Wakil Presiden ditunjuk oleh Presiden yang diusung oleh koalisi partai. Hal ini untuk menghindari fenomena “matahari kembar” (mempunyai posisi politik yang sama-sama kuat).[11]Keempat,, koalisi parpol yang kandidatnya menang harus menjadi pendukung pemerintah, sebaliknya koalisi parpol yang kalah menstinya menjadi oposisi. Dengan demikian, hanya ada dua blok koalisi besar di parlemen, yaitu koalisi pendukung pemerintah dan koalisi aposisi. Parlemen akan akan lebih sederhana dan produktif dengan hanya dua blok koalisi permanin sehingga proses politik pun kaan lebih efisien dan efektif. Koalisi ini perlu diatur dan diikat undang-undang agar tidak bisa dicabut atau bubar di tengah jalan dengan mudah. Karena itu, regulasi mengenai koalisi ini perlu dilembagakan dalam sebuah undang-undang.[12]
Kesimpulan
Dari uraian panjang yang telah penulis paparkan di atas, maka kesimpulan yang diambil adalah bahwa sistem multi partai yang dihadapkan dengan sistem pemerintahan presidensial menyebabkan pembentukan koalisi antar partai saat pemilihan presiden yang tak terekkan. Selain pembentukan koalisi yang mendapat jaminan hukum dalam konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) juga konstelasi politik yang terjadi menghendaki demikian. Seperti halnya adanya ambang batas untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden dari parpol, sehingga mau tidak mau partai yang tidak melampaui ambang batas harus membentuk koalisi dalam rangka dapat menjadi peserta dalam pilpres.
            Koalisi yang dibangun tidak atas dasar persamaan ide dan platform oleh parpol yang berkoalisi membuat koalisi menjadi rapuh.  Selain itu, komposisi dan jumlah partai dalam koalisi pemerintahan selalu berubah- ubah setiap pergantian pemerintahan. Rapuhnya koalisi yang dibangun juga disebabkan karena perilaku perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang dalam memperoleh posisi di kabinet pemerintahan yang akan terbentuk. Sehingga akhirnya dalam memilih mitra koalisi, elite politik cenderung didorong oleh keinginan untuk memaksimalkan proses negosiasi dalam power sharing.
            Dengan untuk mencegah terjadinya koalisi yang rapuh seperti saat ini, maka setidaknya ada empat langkah yang harus dilakukan. Pertama, pemilu presiden tidak lagi mengikuti hasil pemilu legislatif. Kedua, proses koalisi harus dilakukan sebelum pemilu legislatif dan presiden. Ketiga, Wakil Presiden ditunjuk oleh Presiden yang diusung oleh koalisi partai. Kelima, koalisi parpol yang kandidatnya menang harus menjadi pendukung pemerintah, sebaliknya koalisi parpol yang kalah menstinya menjadi oposisi.

Daftar Pustaka
Dwipayana, AA GN Ari. Multi Partai, Presidensialisme dan Efektivitas Pemerintah, disampaikan pada seminar “Membedah Undang-Undang Partai Politik” Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII kerjasama dengan Hanns Seidel Foundation Indonesia, di Yogyakarta Pada tanggal 9 April 2011
Isra, Saldi. Simalakama Koalisi Sistem Presidensial, opini Kompas, Kamis, 27 November 2008.

Mainwaring, Scott. Presidensialisme di Amerika Latin, dalam buku Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Terjemahan: Ibrahim R.dkk, Jakarta:Raja Grafindo Persada: 2010
Sidqi, Sexio Yuni Noor. Anomali Sistem Presidensial (Evaluasi Praktek Politik Parlementarian) dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Vol. 15 No,1, Januari 2008.
Yuda AR, Hanta. Presidensialisme Setengah Hati, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010






[1] Sexio Yuni Noor Sidqi, Anomali Sistem Presidensial (Evaluasi Praktek Politik Parlementarian) dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Vol. 15 No,1, Januari 2008, hlm. 39
[2] Ibid, hlm.42
[3] Saldi Isra, Simalakama Koalisi Sistem Presidensial, opini Kompas, Kamis, 27 November 2008.
[4] Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010,hlm.29
[5] AA GN Ari Dwipayana, Multi Partai, Presidensialisme dan Efektivitas Pemerintah, disampaikan pada seminar “Membedah Undang-Undang Partai Politik” Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII kerjasama dengan Hanns Seidel Foundation Indonesia, di Yogyakarta Pada tanggal 9 April 2011.
[6] Ibid,hlm37
[7] AA GN Ari Dwipayana, Multi Partai.....Loc.Cit
[8] Scott Mainwaring, Presidensialisme di Amerika Latin, dalam buku Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Terjemahan: Ibrahim R.dkk, Jakarta:Raja Grafindo Persada: 2010, hlm.120-121
[9] AA GN Ari Dwipayana, Multi Partai...... Loc.Cit
[10] Ibid..
[11] Ibid...
[12] Hanta Yuda AR, Presidensialisme..Op.Cit.Hlm.290

You Might Also Like

0 komentar

Entri Populer

Flickr Images