KPK VS POLRI




Jum’at (5/10), sejumlah perwira polisi berusaha menjemput paksa para penyidik POLRI yang bertugas di KPK. sekitar pukul 21.30 sejumlah perwira polisi berpakaian preman mulai masuk ke lobi gedung KPK. Hal itu terjadi tidak lama setelah penyidik KPK memeriksa tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jendral Djoko Susilo. Keadaan tersebut di per’riuh’ dengan hadirnya sejumlah masyarakat dan tokoh masyarakat yang mendukung lembaga itu (kompas, 6 oktober 2012).

Perseteruan antara KPK dengan POLRI diibaratkan Cicak melawan Buaya. Bagaimana tidak?, Cicak merupakan hewan melata yang mungil ukuran tubuhnya, diibaratkan sebagai KPK yang pada dasarnya memang masih baru, karena dibentuk setelah Era Reformasi dan hanya bersifat ad hoc (sementara). kemudian melawan buaya yang jamak diketahui merupakan melata sangat besar bak monster yang diibaratkan sebagai POLRI. Hal ini memang sesuai jika disepadankan dengan lembaga POLRI memang sebagai salah satu lembaga terbesar di Indonesia.


Terlepas anekdot di atas, ketegangan antara polisi dan KPK dimulai sejak Komisaris Novel Baswedan salah satu penyidik KPK yang juga merupakan seorang anggota POLRI memimpin penggeledahan di Markas Korlantas terkait kasus dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara di korps Lalu Lintas Polri. Ternyata penggeledahan mendapatkan respon yang negatif dari para perwira Bareskrim Mabes polri. 

Novel pun menjadi sasaran para perwira Bareskrim yang dianggapnya telah berani melawan seniornya. Sehingga, sering kali para polisi melakukan upaya penangkapan terhadap Novel dengan alasan pernah melakukan penganiayaan ketika masih bertugas di Polresta Bengkulu delapan tahun silam. Upaya tersebut pada dasarnya hanya dijadikan gertakan oleh para polisi untuk mengambil alih penanganan kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh Inspektur Jendral susilo.

Usaha pengambil alihan penanganan kasus tersebut merupakan upaya POLRI untuk merong-rong  kewenangan KPK. POLRI yang merasa berhak atas kasus tersebutpun tidak akan membiarkan salah satu pimpinannya dituntut di KPK. Padahal, dalam UU No 30 tahun 2002 pasal 6 (a) KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Pasal 8 ayat 2 juga mempertegas kewenangan KPK yaitu dalam melaksnakan kewenangannya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), KPK  berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan.

menurut pengamatan penulis usaha POLRI yang menggebu-gebu untuk mengambil alih kasus tersebut tidak lain adalah hanya ingin membebaskan tuntutan terhadap Inspektur Jendral Djoko Susilo. Walau bagaimanapun harus tetap diakui dalam instansi kepolisian usaha untuk melindungi sesama anggota tetap diakui. Apalagi Djoko Susilo merupakan petinggi POLRI. Tidak ayal jika anggotanya berusaha ingin melindunginya.

Sungguh rancu,  jika kita amati seharusnya dua lembaga tersebut saling berkonsolidasi dan berkomitmen untuk mentuntaskan kasus-kasus korupsi di negeri ini, namun kedua lembaga tersebut malah bersitegang dalam menangani sebuah kasus. Polisi yang seharusnya manut kepada KPK karena memang KPK lah yang lebih berwenang menangani kasus tersebut dan tujuan KPK dibentukpun karena akibat kinerja  kejaksaan dan kepolisian dalam mengani kasus-kasus korupsi tidak memuaskan.

Manakah yang lebih diunggulkan antara KPK dan POLRI itu merupakan hal yang tidak penting karena keduanya merupakan lembaga yang dibangun untuk saling bekerjasama dalam membrantas korupsi. Dengan dekian tidak lah salah jika  KPK menjalankan amanat dibentuknya lembaga tersebut yaitu memberantas korupsi walaupun yang menjadi tersangka merupakan petinggi kepolisian. Ini merupakan wujud usaha  untuk menegakan hukum yang seadil-adilnya. Karena memang dalam sistem hukum eropa continental yang diterapkan di Indonesia menganut asas equality before the law (semua orang sama dihadapan hukum).

Menurut penulis tindakan POLRI tersebut tetaplah salah. Karena memang KPK sebagai lembaga yang menangai kasus korupsi yang lebih dari 1 miliar yang lebih berhak untuk mengadili dan memutuskan tersangka melalui pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Seyogyanya POLRI mengerti dan memahami hal tersebut. 

Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 6 huruf a UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berbunyi “KPK mempunyai tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi”. Dengan demikian seharunya POLRI sebagai salah satu instansi yang juga melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi membantu KPK dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi. Walaupun yang menjadi tersangka adalah petinggi POLRI.



  



You Might Also Like

0 komentar

Entri Populer

Flickr Images