Runtuhnya Wibawa MK dalam Analisis Teori Efektivitas Penegakan Hukum
Ditetapkannya Akil Muchtar sebagai tersangka
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus penyuapan terkait sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten
Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Lebak menjadi preseden terburuk bagi lembaga Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan pengawal demokrasi (the guardian of democration) yang
terhitung masih muda usianya.
Diusia yang 10 tahun ini, MK harus merelakan marwah dan wibawanya tergerus oleh ulah hakim “nakal” Akil Muchtar. Bau busuk yang sedikit demi sedikit tercium sejak
terpilih menjadi hakim MK akhirnya menyeruak setelah KPK melakukan Operasi Tangkap
Tangan (OTT) kepada Akil Muchtar.[1]
Tuduhan menerima suap pun tak terbantahkan pasca OTT dan ditetapkannya sebagai tersangka.
Kebusukan lain yang tak bisa dinalar adalah ditemukannya narkoba di ruang kerjanya.
Kini MK, harus menanggung segala akibatnya. Institusi yang
semula digandrungi oleh rakyat Indonesia karena kiprahnya dalam memperjuangkan hak konstitusional warga Negara untuk memperoleh keadilan, menjadi redup tak bersinar. Runtuhnya elektabilitas MK menjadi tak terelakkan akibat dari kasus yang menjerat Akil.
Berdasarkan rilis survey yang
dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada Oktober 2013 diungkapkan bahwa
kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi berada pada titik nadir.
Pasca penangkapan ketuanya, kepercayaan publik terhadap MK merosot di bawah
30 %. Publik yang masih percaya kepada MK hanya 28.0 %. Sedangkan mayoritas
publik yaitu sebesar 66.5 % tidak lagi percaya kepada MK sebagai benteng
terakhir penegakan hukum di Indonesia.[2]
Sebelum “malapetaka Akil” ini, kepercayaan terhadap MK justru
sebaliknya selalu diatas 60 %. LSI pernah menanyakan pertanyaan yang sama
tentang kepercayaan publik terhadap MK pada survei nasional LSI tahun 2010,
2011, 2012, dan terakhir Maret 2013. Pada survei Oktober 2010, kepercayaan
terhadap MK sebesar 63. 7 %. Pada survei September 2011, mereka yang percaya
terhadap MK masih sebesar 61.5 %. Bahkan pada Maret 2013, kurang lebih 7
(tujuh) bulan sebelum “Malapetaka Akil”, kepercayaan terhadap MK masih sebesar
65.5 %. Artinya hanya dalam tempo 7 bulan, kepercayaan terhadap MK merosot 37
%. “Hanya butuh seorang Akil dalam sehari untuk merobohkan MK”. Hal ini
dimaklumi karena sakralnya lembaga MK selama ini dan posisi Akil Mochtar
sendiri sebagai ketuanya.[3]
Tak lama setelah tragedi ditangkapnya Akil Mochtar, amuk massa terjadi saat sidang pengucapan putusan
perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) kepala daerah dan wakil kepala
daerah Provinsi Maluku tahun 2013 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis
(14/11/2013), tepatnya seusai Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva membacakan amar
putusan pertama untuk perkara Nomor 94/PHPU.D-XI/ 2013.Peneliti Senior
Indonesia Public Institute Karyono Wibowo menilai, kericuhan yang terjadi di
Gedung Mahkamah Konstitusi saat pengucapan putusan perkara perselisihan hasil
pemilihan umum (PHPU) kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Maluku
merupakan wujud akumulasi kekecewaan publik terhadap MK.[4]
Hal ini tentu memilukan sekaligus
menjadi tamparan keras terhadap MK. Bahkan beberapa pihak menyangsikan
putusan-putusan MK yang pernah disidangkan oleh Akil. Kekhawatiran terhadap putusan
yang diputus oleh Akil tersebut juga ada campur tangan orang lain.
Imparsialitas hakim pun tak luput dari sorotan. Satu persatu hakim juga
diperiksa oleh KPK, tak ketinggalan pula panitera yang ikut bersidang. Selain
mengorek informasi untuk memperoleh keterangan tentang Akil juga mencari
keterlibatan yang lain.
Melihat turunnya elektabilitas MK dimata
masyarakat, sontak membuat pemerintah mengambil inisiatif untuk menerbitkan
perppu No. 1 tahun 2013 tentang perubahan kedua UU MK. Dimaksudkan agar MK
mendapatkan kembali kepercayaan publik dan sebagai usaha untuk menyelamatkan
MK. Salah satu isi (content) dari perppu tersebut adalah keterlibatan
Komisi Yudisial (KY) dalam pengajuan hakim MK melalui panel ahli.[5]
Keterlibatan KY dipandang menjadi
kebutuhan untuk ikut serta dalam proses seleksi, ditujukan agar mendapat hakim
yang benar-benar seorang negarawan dan mempunyai integritas yang tinggi. Tidak
dilibatkannya KY dalam seleksi maupun untuk mengawasi hakim MK selama ini
dielu-elukan oleh banyak pihak. Tentu hal ini tidak dapat dipisahkan dari
putusan MK
Nomor 005/PUU-IV/2006 pada tahun 2006 yang menyatakan bahwa hakim MK bukan
termasuk obyek yang diawasi oleh KY.
Selain itu, dalam perppu tersebut juga
mensyaratkan bagi calon hakim untuk vakum dari anggota parpol selama tujuh
tahun. Trauman mendalam karena ditangkapnya Akil sebagai tersangka penyuapan
yang notabene adalah anggota partai politik turut melatarbelakangi ketentuan
ini agar kedepan tidak terjadi hal serupa.
Namun, harapan itu tak semanis yang
dibayangkan. Perppu yang dibentuk pemerintah tersebut akhirnya kandas di
persidangan MK sendiri. Argumentasi utama MK, pembentukan Perppu yang akhirnya disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memenuhi syarat “kegentingan
memaksa”.Sesuai putusan MK No. 138/ PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010 lalu,
kegentingan yang memaksa menjadi kewenangan subjektif Presiden, namun
subjektivitas itu harus tetap ada dasar objektivitasnya. Perpu MK tidak
memenuhi syarat akibat sontak segera (prompt immediately) untuk
memecahkan permasalahan hukum. Konsiderans (menimbang) Perpu bahkan tidak
mencerminkan kesegeraan, apa yang hanya dapat diatasi secara segera tersebut.[6]
Terlepas dari alasan di atas, melalui putusan No. 1/ PUU-XII/2014 dan 2/PUU
XII/2014tersebut MK mendeklarasikan kearogansiannya. Dengan dalih indenpensi,
melalui kewenangan pengujian yang dimilikinya, MK berani membatalkan dan
menggugurnya isi dari perppu No. 1 tahun 2013. Tak pelak pembatalan perppu ini
menjadi sorotan dan disayangkan banyak pihak.
Berbagai
hal yang terjadi di MK di atas adalah dampak struktural dari kejadian
penangkapan Akil Muchtar. Lantas bagaimana menyikapi hal ini ?. Adalah hukum yang sepatutnya memberikan respon
terhadap kejadian di atas. Sebab kasus yang terjadi tidak lepas dari fenomena
lemahnya hukum dalam memainkan perannya untuk mencegah terjadinya tindakan
koruptif. Selain itu, juga menjadi kewajiban hukum memulihkan keadaan yang
sudah terjadi.
Teori Efektivitas Penegakkan Hukum
Untuk
menganalisis fenomena di atas setidaknya diuraikan dua teori sebagai pisau
analisis. Di antaranya, pertama,teori yang disampaikan JC Howard. Menurut
JC Howard, bahwa efektivitas hukum penegakkan peraturan
hukum tergantung pada tiga faktor[7],
yaitu (i) The role of law, (good law or bad law). Pembentukan hukum
dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga
legislatif akan menentukan baik dan buruknya hukum itu sendiri.
Baik
dan buruknya hukum dipengaruhi oleh proses pembuatan hukum. Hukum yang baik dibuat
melalui proses yang demokratis dengan menjunjung tinggi asas-asas pembuatan
hukum[8]
dan menjunjung
tinggi partisipasi rakyat. Selain itu penelitian dan kajian akademik
harus turut andil dalam pembuatan suatu peraturan. Oleh karenanya peran
akademisi menjadi penting untuk mengkaji dan menelaah yang kemudian dituangkan
dala suatu naskah akademik.
(ii) the role of occupant (good
men or bad men). Dalam hal ini penegak hukum sebagai
pengemban hukum harus mencerminkan pribadi yang baik. Meskipun aturan sudah
dibentuk melalaui proses yang baik, namun jika penegak hukum tidak mempunyai
integritas dan tingkah laku yang baik maka hukum dapat dipermainkan. Hukum
dapat digunakan untuk kepentingannya sendiri. (iii) the role of expectation
(satisfaction or dissaticfaction). Dalam hal ini hukum yang berlaku harus
memberikan kepuasan terhadap masyarakat. Proses penegakan hukum harus memenuhi
keinginan rakyat, sehingga keadilan yang dikehendaki rakyat dapat dipenuhi.
Penegak hukum harus peka terhadap aspirasi rakyat, agar rakyat merasakan dampak
positif terhadap hadirnya hukum.
(iv) the role of performnce (well
or not well performance). Kinerja baik yang dilakukan oleh penegak hukum
menjadi faktor penting untuk menunjang efektivitas hukum di masyarakat. Sebab
hukum yang abstrak dikonkritkan oleh penegak hukum dalam menjalankan perannya.
Baik buruknya hukum akan terlihat dalam performa penegak hukum.
Kedua, Teori yang dikemukakan oleh Anthony
Allot, menurut Anthony Allot hukum memiiki keterbatasan kemampuan dalam
menjalankan fungsinya. Studi Allot ini dilakukan terhadap hukum negara yang
ternyata tidak berfungsi di masyarakat-masyarakat sederhana di Afrika. Hal
senada juga terjadi di Indonesia, di mana tatanan
tradisional (hukum kebiasaan) masih mendominasi dalam kehidupan masyarakat di
pedesaan. Allot mengemukakan ada beberapa hal yang membuat hukum sering kali
terlihat ridak efektif, yang meliputi:[9]
(a) Sudah menjadi nasibnya bahwa hukum melemahkan dirinya pada
kelahirannya, ini merupakan hukuman atas ambisi pembuat undang-undang dan
sebuah ketetapan yang diperlukan untuk persyaratan suatu yang efektif, seperti
survei yang cukup, komunikasi, penerimaan dan mesin pelaksananya;
(b) Hukum menjadi tidak efektif, bahkan ketika hukum itu mencapai
keberhasilan objek mereka, karena terjadi perubahan konteks dari sikap dan
perilaku sosial. Point penting dari hal ini adalah mengenali akibat perubahan
yang menyebabkan ketidakefektifan dan mengambil langkah-langkah untuk perbaikan
yang sesuai dengan membuat hukum yang lebih efektif, atau mencabut hukum yang
ketinggalan zaman dan sudah tak diterima. Terhadap keterbatasan kemampuan hukum
dalam mengatasi persoalan masyarakat yang timbul, menurut Allot, adopsi atau
penerimaan mayoritas terhadap hukum baru tidak menjamin kemampuan hukum. Allot
memberi dua argumen sebagai jalan keluar. Yaitu pendekatan pragmatis sebagai
jalan terbaik agar hukum efektif dan pendekatan moral. Selanjutnya ia
menekankan penggunaan customary law yang didasarkan pada prinsip
konsensus dengan dukungan dari sanksi sosial dinilai akan lebih efektif dalam
pelaksanaan hukum.
Dari argumentasi di atas, Anthony
Allot berkesimpulan bahwa hukum dikatakan sebagai berfungsi efektif jika
memenuhi situasi jika tujuan hukum tersebut mencapai fungsi pencegahan (preventive)
dab tujuan kedua mencapai fungsi curative atau mengembalikan keadaan.[10]
Analisis
Fenomena Runtuhnya Wibawa MK dan Upaya Menegakkan Kembali
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman juga sebagai penegak keadilan dan perlindungan hak asasi manusia
secara formal dilaksanakan oleh para hakim konstitusi melalui produk hukum
berupa putusan. Sampai saat ini, masyarakat memberikan nilai dan harapan tinggi
pada MK untuk menggapai keadilan.[11]
Tertangkapnya
Akil Muchtar sebagai ketua MK mempupuskan harapan masyarakat dan menjadi bukti nyata penegakan hukum yang
belum efektif. Jika bangunan hukum yang dibentuk tidak didukung oleh
elemen-elemen hukum yang mengikuti penegakan hukum, maka yang terjadi adalah
kelumpuhan dan kemandulan hukum. Karena penopangnya tidak kuat dan rapuh.
Selaras dengan teori yang
disampaikan oleh JC Howard di atas, elemen yang paling nyata yang menyebabkan
runtuhnya hukum dari peristiwa yang dialami MK adalah penegak hukumnya (goog
or bad man). Akil Muchtar selaku ketua hakim MK tidak menunjukkan
kredibilitas dan integritas untuk menjunjung tinggi hukum. Hukum oleh orang
sepertinya hanya dijadikan alat untuk memenuhi syahwatnya untuk menutupi
kesalahan dan memperkaya diri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa jadinya
Akil Muchtar sebagai hakim MK tidak dengan sendirnya terjadi, melainkan melalui
proses rekruitman untuk dipilih menjadi hakim dengan ketentuan yang sudah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang dibuat. Secara tidak langsung UU Nomor 8 tahun 2011 jo.
UU Nomor 24 tahun 2003 tentang MK (UU MK) turut menyumbangkan tidak efektifnya
penegakan hukum tersebut sehingga tidak memenuhi faktor good law.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Anthony Allots bahwa sudah menjadi nasibnya bahwa hukum melemahkan
dirinya pada kelahirannya, ini merupakan hukuman atas ambisi pembuat
undang-undang dan sebuah ketetapan yang diperlukan untuk persyaratan suatu yang
efektif.
Kecacatan UU MK yang pada saat
pembetukannya tidak dapat diprediksi menurut penulis adalah pertama
diberikannya kesempatan bagi anggota DPR untuk menjadi hakim MK sebagaimana tertulis
dalam Pasal 18 UU MK dan kedua proses seleksi yang mempersyaratkan uji kelayakan
dan kepatutan (fit and proper test) di DPR. Proses yang dilakukan
melalui DPR cendrung bermuatan politis dan sarat dengan kepentingan. Sehingga, disangsikan hakim yang berasal dari
unsur DPR mempunyai integritas dan moral baik. Peristiwa penangkapan Akil
menjadi bukti nyata keraguan itu.
Secara sosiologis penentuan
rekrutmen SDM yang akan mengisi jabatan strategis terkadang sangat formal dan
dogmatis, dan bahkan tidak aspiratif. Padahal, dalam negara hukum persyaratan
formal bukan tidak penting. Akan tetapi, integritas moral atau kode etik (code of conduct)
bersifat universal dibutuhkan. Bau busuk di MK dilakukan Akil Muchtar tiga
tahun lalu, sesungguhnya terjadi hari ini adalah mengabaikan kredibilitas dan
integritas moral yang tidak dapat diingkari hati nurani.[12]
Berangkat dari permasalahan di atas, melalui proses
kontemplasi terhadap kejadian yang menimpa MK, diperlukan upaya menyeluruh
sebagai jalan untuk memulihkan kembali wibawa MK yang semakin melemah. Karena
dilatarbelakangi oleh ketentuan peraturangan perundang-undangan yang tidak baik
sehingga memberi celah terjadinya penyimpangan, maka upaya yang dilakukan
melalui perbaikan hukum itu sendiri.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Anthony Allots bahwa hukum dikatakan sebagai
berfungsi efektif jika memenuhi situasi jika tujuan hukum tersebut mencapai
fungsi pencegahan (preventive) dan tujuan kedua mencapai fungsi curative
atau mengembalikan keadaan. Sehingga dengan pijakan ini maka perubahan UU MK
harus dilakukan dilakukan perubahan dengan beberapa perbaikan demi tercapainya
fungsi curative hukum.
Pertama,
dalam Pasal 18 ketentuan 3 hakim oleh DPR harus diberi penjelasan bahwa
kandidat tersebut bukan orang yang sedang menjabat sebagai anggota DPR.
Melainkan DPR harus membuka peluang kepada masyarakat luas untuk ikut andil
mengisi hakim MK, yaitu melalui proses seleksi yang diadakan oleh DPR.
Kedua,
pelibatan DPR dalam proses pemilihan hakim MK harus diminimalisir. Ketentuan
Pasal 18 UU MK harus diberikan penjelasan bahwa DPR hanya mempunyai kewajiban
menyetujui terhadap hasil yang sudah dipilih oleh tim seleksi yang dibentuk
secara independen dengan unsur perwakilan dari akademisi dan LSM. Hal ini
dimaksudkan untuk meminimalisir konflik kepentingan terhadap para calon hakim
MK yang dengan cara-cara yang tidak sehat menginginkan jabatan hakim MK.
Ketiga,
dibentuknya dewan pengawas internal dengan menggandeng Komisi Yudisial (KY) untuk
memantau kinerja dan etika hakim MK, demi menjaga martabat dan wibawa hakim.
Dengan dibentuknya dewan pengawas tidak dimaksudkan mempengaruhi independensi
hakim dalam memutus suatu perkara melainkan sebagai mekanisme untuk membendung
peluang yang akan mencidrai wibawa hakim.
Tiga
hal diatas adalah sebagai upaya jangka pendek untuk membenahi keadaan MK yang
sedang terpuruk. Dimaksudkan dengan upaya tersebut tersaring penegak hukum yang
memiliki jiwa negarawan dan mempunyai kredibilas yang tinggi. Sehinggga good
man dan good law dalam faktor efektivitas penegakan hukum terpenuhi.
Kemudian upaya jangka panjang yang paling esensial adalah amandeman UUD 1945,
khususnya Pasal 24 ayat (3) yang mengatur ketentuan hakim diusulkan oleh DPR.
Unsur dari DPR harus dihilangkan karena dalam prakteknya sarat dengan kepentingan,
sebab kenyataan sekarang ini DPR menjadi tidak murni menjadi wakil dari rakyat
tetapi menjadi wakil partai politik yang sewaktu waktu memanfaatkan kadernya
untuk memperoleh keuntungan partai.
Kesimpulan
Mahkamah
Kosntitusi mempunyai posisi dan peranan penting dalam mewujudkan keadilan
sosial bagi masyarakat, menegakkan keadilan dari berbagai tindakan
penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa melalui hukum. Menjaga hak
konstitusional warga negara agar tidak dilakukan dilakukan sewenang – wenang
oleh penguasa.
Terdapat harapan besar dari
masyarakat kepada MK untuk tetap menjaga ketentraman bagi kehidupan warga
negara. Melalui putusan yang dibuat MK itulah harapan masyarakat bisa terpenuhi.
Untuk memperoleh putusan yang berkualitas dan mencerminkan keadilan tentu membutuhkan
seorang hakim yang cerdas secara intelektual dan cerdas secara spiritual.
Sehingga dalam proses pemilihan hakim
menjadi faktor penting untuk mendapatkan hakim yang mempunyai integritas moral
dan kredibilitas tinggi. Sehingga perbaikan dalam proses rekrutmen hakim harus
diperbaiki. Peristiwa Akil hendaknya menjadi pelajaran penting dalam memilah
dan memilih hakim. Kuatnya intervensi DPR menjadi indikasi munculnya hakim yang
mempunyai integritas moral lemah. Sehingga peran DPR dalm proses seleksi mau
tidak mau harus direduksi demi
terciptanya good man dalam penegakan hukum di MK.
Referensi
Meida, Ariene, “Wewenang Baru
Komisi Yudisial”, Majalah Media Informasi Hukum dan Keadilan Komisi Yudisial,
Edisi November-Desember 2013.
Editorial, Bebas Dari Intervensi, Majalah
Konstitusi, No. 85, Maret 2014.
Salim HS dan Septiana N. Erlies, Penerapan Teori
Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis, Buku Kedua,
Rajawali Pers: Jakarta, 2014
Thontowi, Jawahir, “Efektivitas
Peraturan dalam Masyarakat Berbasis Negara Hukum Kontemporer”, Bahan Ajar
Terbatas untuk Mahasiswa Pascasarjana FH UII, 22 Februari 2016, Yogyakaarta.
Wijayanti, Winda et.al, “Transparansi dan
Partisipasi Publik dalam Rekrutmen Calon Hakim Konstitusi”, Jurnal
Konstitusi, Vol. 12, No. 4, Desember 2015
Thontowi, Jawhir, Robohnya Martabat MK
RI, Artiketl (tidak diterbitkan).
“KPK Tangkap Ketua MK”, Koran Kompas,
13 Oktober 2013.
Lingar Survey Indonesia, Robohnya MK
kami, Materi Konpres, Minggu 6 Oktober 2013.
Isi Perppu tentang Mahkamah
Konstitusi, http://nasional.kompas.com/diakses pada tanggal 01 Maret 2016
[4] Ariene Meida,
“Wewenang Baru Komisi Yudisial”, Majalah Media Informasi Hukum dan Keadilan
Komisi Yudisial, Edisi November-Desember 2013, hlm.28
[5]Isi Perppu
tentang Mahkamah Konstitusi, http://nasional.kompas.com/diakses
pada tanggal 01 Maret 2016
[6]Editorial,
Bebas Dari Intervensi, Majalah Konstitusi, No. 85, Maret 2014, hlm.3
[7] Jawahir
Thontowi, “Efektivitas Peraturan dalam Masyarakat Berbasis Negara Hukum
Kontemporer”, Bahan Ajar Terbatas untuk Mahasiswa Pascasarjana FH UII,
22 Februari 2016, Yogyakaarta, hlm. 4
[8] Seperti yang
tercantum dalam UU No. 12 tahun 2011 bahwa asas-asas dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan adalah kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk
yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat
dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; dan keterbukaan.
[9] Salim HS dan
Erlies Septiana N. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasi dan Tesis,
Buku Kedua, Rajawali Pers: Jakarta, 2014, hlm. 81-82
[10] Jawahir
Thontowi, Efektivitas.. Loc.Cit.
[11] Winda Wijayanti, et.al, “Transparansi dan Partisipasi Publik dalam
Rekrutmen Calon Hakim Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 4,
Desember 2015, hlm.664
0 komentar