Meneguhkan Kedudukan DPD dalam Susunan Kelembagaan Negara Melalui Perubahan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014
Sejak kelahirannya, dapat dikatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) disusun dengan setengah hati. Di satu sisi DPD yang sejatinya m...
Sejak kelahirannya, dapat dikatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) disusun dengan
setengah hati. Di satu sisi DPD yang sejatinya merupakan representasi wilayah (territorial
representation) yang seharusnya mempunyai fungsi check and balances
terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus menelan kenyataan pahit bahwa
formulasi kewenangan dan fungsi DPD yang dituangkan dalam UUD sama sekali tidak
memberikan kekuasaan yang berimbang terhadap kekuasaan DPR.
Alhasil dalam praktik penyelenggaraan negara DPD tidak dapat
mengontrol kekuasaan DPR. DPD yang merupakan produk amandemen UUD 1945[1] pada
dasarnya dalam pembentukannya semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi
struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bicameral) yang terdiri
atas DPR dan DPD. Dengan struktur bicameral itu diharapkan proses legislasi
dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan
representasi kepentingan seluruh rakyat
secara relatf dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.[2]
Akan tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu
mendapat tantangan yang keras dari kelompok konservatif di Panitia Ad Hoc
Perubahan UUD 1945 di MPR 1999-2002, sehingga yang disepakati adalah rumusan
sekarang yang tidak dapat disebut menganut sistem bicameral sama sekali. Dalam
ketentuan UUD 1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai
kewenangan membentuk Undang-Undang. Namun di bidang pengawasan meskipun
terbatas hanya berkenan dengan kepentingan daerah dan hal-hal berkaitan dengan
pelaksanaan undang-undang tertentu, DPD dapat dikatakan mempunyai kewenangan
penuh untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
Kondisi stagnan DPD dengan pengaturan yang demikian dalam UUD 1945
kian lama menjadi ketidaknyamanan DPD sendiri dalam menjalankan fungsi dan
tugasnya, hal ini seiring dengan semakin liarnya DPR dalam menjalankan fungsi
legislasi yang seolah-olah tanpa ada lembaga yang mengontrolnya. Apalagi
kondisi yang demikian ini semakin diperparah dengan dikeluarkannya uu md3 yang
mengatur tentang kewenangan DPD yang semakin mendiskreditkan eksistensi DPD.
Berdasarkan Konstitusi, format perwakilan DPD dibagi kedalam fungsi
legislasi, pertimbangan dan pengawasan dalam hal kewajiban dan kewenangan DPD
berikut ini:[3]
1.
Fungsi
legislasi; DPD dapat mengajukan draft rancangan undang-undang kepada DPR dan
membahasnya, hal ini hanya berkaitan dengan bidang regional, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, sumber daya alam
dan sumber dya ekonomi, ekspansi, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
2.
Fungsi
pertimbangan; DPD mempunyai kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada
DPR.
3.
Fungsi
Pengawasan; DPD dapat mengawasi pelaksanaan legislasi dan menyampaikan hasil
pengawasan tersebut kepada DPR untuk dijadikan pertimbangan untuk langkah
selanjutnya. DPD juga mempunyai kewenangan untuk menerima hasil audit keuangan
negara yang dilakukan oleh BPK.
Di dalam Undang-Undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD sebagai undang-undang organik dari konstitusi dalam menjalankan fungsi
legislasi. Terdapat dua tingkat pembicaraan dalam pembahasan undang-undang,
pembicaraan Tingkat I dalam
rapat komisi, rapat
gabungan komisi, rapat Badan
Legislasi, rapat Badan
Anggaran, atau rapat panitia khusus dan Tingkat II dalam
rapat paripurna. Dalam hal ini DPD hanya dapat turut serta dalam pembicaraan
tingkat satu sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 150 ayat 1 huruf b dan d yang
menyatakan bahwa
Huruf b
“DPR memberikan penjelasan
serta Presiden dan
DPD menyampaikan pandangan apabila
rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan kewenangan DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
71 huruf e berasal dari DPR;
Huruf d
Presiden memberikan penjelasan serta fraksi danDPD
menyampaikan pandangan apabila
rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan kewenangan DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 huruf
e berasal dari Presiden.
Sedangkan dalam rapat paripurna yang agendanya adalah persetujuan atau penolakan terhadap rancangan
undang-undang yang dibahas, DPD tidak mendapatkan tempat dalam pembicaraan ini,
yang aneh kewenangan persetujuan tersebut diberikan kepada presiden yang
sejatinya adalah organ eksekutif.
Berangkat dari ketimpangan tersebut maka diajukan pengujian
peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Konstitusi, yaitu pada tahun 2012
dengan nomor perkara 92/PUU-X/2012. Namun
setelah MK yang dalam putusannya mengabulkan tuntutan DPD untuk turut serta
dalam proses pembahasan hingga persetujuan pembentukan UU, dalam perubahan
undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD menjadi UU
Nomor 17 tahun 2014 menegasikan putusan MK tersebut. Alhasil DPD masih berada
dalam posisi yang dhaif (lemah).
Pada tahun 2014 undang-undang hasil perubahan tersebut kembali
diajukan ke MK dengan nomor perkara 79/PUU-XII/2014, namun hingga saat ini
belum ada perubahan undang-undang tersebut untuk mengakomodir hasil putusan MK.
Dalam tulisan ini, penulis hanya ingin menguraikan urgensi dilakukannya
perubahan kembali UU Nomor 17 tahun 2014 yang secara substansial tidak
mengakomodir putusan MK tentang DPD.
Reformulasi DPD dalam Putusan MK
Hingga saat ini, setidaknya ada dua putusan MK yang mempersoalkan
fungsi dan kewenangan DPD yang tidak setara dengan DPR khususnya dalam
pembahasan dan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pada tahun 2012, dalam putusan nomor 92/PUU-X/2012, MK mengabulkan
permohonan pemohon yang mengujikan pasal Pasal 151 ayat (1) dan ayat (3), Pasal
154 ayat (5) terhadap tafsir Pasal 22D UUD 1945. Adapun tafsir yang dibetikan
oleh MK agar tidak menimbulkan kesalahan tafsir atas ketentuan yang dianggap
selama ini tidak obligatori, menjadi sebagai berikut:[4]
Ketentuan UUD
|
Tafsir MK
|
Implikasi ke UU
|
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat randangan undang-undang (Pasal 22D ayt (2))
|
Ketentuan Pasal 22D ayat (1) merupakan pilihan subjektif DPD
“untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan” RUU yang berkaitan dengan fungsi
DPD.
Kata “dapat” bermakna juga sebagai sebutah hak dan/atau
kewenangan, sehingga analog dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional
Presden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.
|
Seluruh produk UU terkait dengan kedudukan dan kewenangan DPD
dalam pelaksanaan fungsi legislasi harus disesuaikan dengan makna “hak” DPD
mengajukan RUU sebagaimana Pasal 5 ayata (1) UUD 1945.
|
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang
(Pasal 22D ayat (2))
|
DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak dan/atau kewenangan yang
sama dengan DPD dan Presden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan
fungsinya.
|
Selurun muatan UU terkati dengan kedudukan dan kewenangan DPD
harus menempatkan DPD setara dengan DPR dan Presiden dalam proses pembentukan
UU mulai dari penyiapan, Prolegnas, pengusulan dan pembahasan UU kecuali
mengambil persetujuan
|
Implikasi keputusan MK seharusnya secara nyata berdampak terhadap
undang-undang yang berkaitan dengan substansi yang diputuskan oleh MK,
sebagaimana diuraikan di atas, adanya perubahan terhadap UU MD3 seharusnya
mengakomodir perintah dari putusan MK untuk menempatkan DPD dalam pembahasan
undang-undang setara dengan DPR, namun setelah perubahan tersebut disahkan sama
sekali tidak mengakomodir perintah putusan MK tersebut. Sehingga pada tahun
2014 UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang merupakan hasil
perubahan UU No. 27 tahun 2009 dijaukan pengujian kembali ke Mahkamah
Konstitusi.
Dalam nomor perkara 79/PUU-XII/2014 yang merupakan pengujian UU
Nomor 17 tahun 2014 terhadap pasal 22UUD 1945 pada pokoknya mempersoalkan 3
permasalahan:[5]
1.
Kewenangan
DPD untuk mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah
2.
Kewenangan
DPD untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan pusat dan daerah; dan
3.
Kewenangan
DPD sebagai lembaga negara.
Menjawab pokok permasalahan yang diajukan oleh pemohon, dalam
putusannya, MK pada dasarnya mempertegas kembali apa yang telah diputuskan pada
tahun 2012 silam melalui putusan nomor 92/PUU-X/2012. MK menyatakan bahwa
“Terhadap dalil pemohon mengenai Pasal 277 ayat (1) UU 17 tahun
2014 menurut Mahkamah Pasal a quo mengatur menkanisme penyampaian rancangan
undang-undang beserta naskah akademik yang berasal dari DPD kepada pimpinan DPR
dengan ditembuskan kepada presiden. Ketentuan norma demikian tidak sejalan atau
menyimpangi Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 bertanggal 27 maret 2013. Semangat yang
terkandung dalam putusan Mahkamah a quo adalah menekankan adanya keterlibatan
DPD bersama DPR dan Presiden dalam mengajukan rancangan danpembahasan rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daera, pengelolaan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Keterlibatan DPD tersebut hanya dalam pembahasan, tidak sampai pada pengambilan
Mahkamah Nomor 92/PUU-X/2012, tertanggal 27 Maret 2013 pada paragraph (3.18.1)
dan paragraph (3.18,2).”
Dalam petitumnya, MK mengabulkan sebagian dari apa yang dimohonkan
diantaranya adalah Pasal 71 huruf c dimana DPD juga berwenang mengajukan
rancangan undang yang berkatian dengan kepentingan daerah dan ikut membahasnya.
Pasal 250 ayat (1) yang memberikan kewenangan kepada DPD untuk dapat ikut dalam
pembahasan anggaran. Dengan demikian pada dasarnya putusan MK belum
sepenuhnya mengakomodir kepentingan DPD untuk menjalankan fungsi check and
balances terhadap DPR sebab, DPD belum dapat duduk bersama dalam persetujuan
rancangan UU.
Urgensi Perubahan UU Nomor 17 tahun 2014
Di dalam UUD 1945Pasal 24C ayat (1) menyatakan bahwa PUtusan MK
bersifat final. Lebih lanjut ketentuan UUD ini diperkuat melalui undang- undang
nomor 24 tahun 2003 jo. Undang-undang nomor 8 tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi, pada Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final.
Dalam penjelasannya
dikatakan bahwa
“Putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final, yakni putusan
Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan
hukum tetap sejak diucapkan dan
tidak ada upaya
hukum yang dapat ditempuh.
Sifat final dalam
putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Undang-Undang ini mencakup pula
kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.
Dengan demikian berarti Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum
tetap sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap memilki kekuatan hukum mengikat untuk
dilaksanakan. Berbeda dengan putusan pengadilan biasa yang hanya mengikat para
pihak, Putusan MK dalam perkara pengujian UU mengikat semua komponen bangsa,
baik penyelenggara negara maupun warga negara. Dalam perkara pengujian UU, yang
diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Walaupun dasar
permohonan pengujian adalah adanya hak konstitusional pemohon yang dirugikan,
namun sesungguhnya tindakan tersebut adalah mewakili kepentingan hukum seluruh
masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi.[6]
Berangkat dari dasar teoritis dan yuridis di atas, merupakan suatu
kewajiban oleh DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang untuk mengakomodir
putusan MK, perubahan UU Nomor 27 tahun 2009 menjadi UU Nomor 17 tahun 2014
dapat dikatakan cacat demi hukum Karena tidak taat pada konstitusi yang
menyatakan bahwa putusan MK adalah mengikat.
Oleh Karena itu perubahan UU Nomor 17 tahun 2014 menjadi kebutuhan
urgen yang harus disegerakan mengingat terdapat dua putusan mahkamah konstitusi
yang harus meneguhkan kewenangan dan fungsi DPD. Adapun Pasal-pasal yang perlu
dirubah dapat menyesuaikan apa yang diputuskan dalam mahkamah konstitusi.
Seperti Pasal 71 huruf c mengakomodir kewenangan DPD untuk dapat mengajukan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan daerahnya dan ikut pembahasan dan
Pasal 250 ayat (1) yang memberikan kewenangan kepada DPD untuk iktu dalam
pembahasan anggaran.
Namun menurut penulis terdapat permasalahan serius terhadap
kewenangan DPD yang menurut yang seharusnya dapat diakomodir dalam UU MD3 yang
tidak diakomodir dalam putusan MK. Yaitu kewenangan DPD untuk dapat turut dalam
pembicaraan tingkat II dimana DPD seharusnya bisa ikut menyetujui atau menolak
rancangan undang-undang. Tentu undang-undang yang dimaksud adalah undang-undang
yang diusulkan oleh DPD yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Hal ini
tentunya sejalan dengan fungsi DPD sebagai perwakilan daerah (regional
representation).
Kesimpulan
Berangkat dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perubahan undang-undang nomor 14 tahun 2014 menjadi kebutuhan yang harus
disegerakan untuk mengakomodir ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam putusan
Mahkamah Konstitusi. Perubahan Undang-undang ini harus mengembalikan lagi
kewenangan kepada DPD yang telah direduksi melalui peraturan perundang-undangan
padahal kewenangan DPD secara konstitusional sudah diakomodir dalam
konstitisui. Selain itu perubahan undang-undang ini nantinya juga harus
meneguhkan eksistensi DPD untuk dapat turut dalam pembahasan tingkat II untuk
menyetujui undang-undang yang berasal dari DPD.
Daftar Pustaka
Enny
Nurbaningsih, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan
Alternatif Model Hubungan Kelembagaan Terkair Pembentukan Undang-Undang”,
Mimbar Hukum, Vol 27, Nomor 1, Februari 2005.
Jimly
Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta,
Sinar Grafika, 2010.
Masnur Marzuki,
Introduction to Indonesian Constitutional Law, Yogyakarta, UII Press,
2016.
Putusan MK
Nomor 79/PUU-XII/2014, hlm. 174
Muchammad Ali
Syafa’at, Kekuatan Mengikat dan Pelaksanaan Putusan MK, Artikel anomalisemesta.blogspot.co.id,
diakses pada tanggal 23 November 2016 pukul 9.27 WIB.
[1] Masnur
Marzuki, Introduction to Indonesian Constitutional Law, Yogyakarta, UII
Press, 2016, hlm. 89
[2] Jimly
Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm. 119
[3] Masnur
Marzuki, Introduction… Op.Cit, hlm. 89-90
[4] Enny
Nurbaningsih, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan
Alternatif Model Hubungan Kelembagaan Terkair Pembentukan Undang-Undang”,
Mimbar Hukum, Vol 27, Nomor 1, Februari 2005, hlm. 2-3
[5] Putusan MK
Nomor 79/PUU-XII/2014, hlm. 174
[6] Muchammad Ali
Syafa’at, Kekuatan Mengikat dan Pelaksanaan Putusan MK, Artikel
anomalisemesta.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 23 November 2016 pukul 9.27
WIB.